Allah Swt Tuhanku, Nabi Muhammad Saw Junjunganku, Islam Agamaku, Fanatisme itu tidak lahir dengan sendirinya!!!!!! Dari Bumi OYONID untuk AREMA INDONESIA. AREMANIABERGERAK IKLAS TANPA PAKSA!!! KAMI TAK TERBENDUNK!!!!
Rabu, 06 Februari 2013
Tumpah Darahku
Kali ini saya tidak hanya membayangkan berada di peristiwa bersejarah, tapi saya sedang berada di stadion terbesar di Asia yang mampu menampung 80 ribu orang. Hari ini adalah hari Minggu, tapi tentunya bukan hari minggu yang biasa untuk 220 jiwa penduduk Indonesia.
Tentu saja termasuk saya. Hari ini adalah hari dimana laga kedua semifinal Piala AFF 2010 antara Indonesia melawan Filipina. Sejak kejuaraan ini bergulir, antusiasme warga begitu menggelora, bila hari pertandingan tiba, warna merah dan putih berkibar di mana-mana sedari pagi hingga malam hari. Bahkan lebih merah daripada hari kemerdekaan.
“Football isn’t just simple game, its a weapon of revolution,” begitu kata Che Guevara.
Tepat pukul 5 sore saya sudah berada di kompleks Gelora Bung Karno. Saya dipercaya kawan-kawan untuk mengkoordinir upaya pembelian dan pencarian tiket. Jauh hari sebelum pertandingan, saya sudah mempersiapkan pembelian tiket. Baik dengan cara mengantri di loket atau mencoba membeli lewat kawan di kantung suporter klub atau bahkan mencoba membeli dari orang dalam PSSI.
Dari total 35 tiket yang harus saya beli, sore ini saya hanya berhasil membeli 31 tiket. Tiket menghilang dari peredaran. Antusiasme warga untuk menonton laga ini suguh gila. Tiket ludes!. Tentu saja kita ketahui bahwa tiket susah didapat karena ulah tangan kotor pengurus PSSI yang memonopoli penjualan tiket demi mengeruk keuntungan semata.
Jantung saya berdegup kencang tak keruan. Jumlah tiket yang tak sesuai membuat saya harus mengatakan dengan berat hati kepada kawan-kawan saya, bahwa ada beberapa dari mereka yang tidak bisa masuk stadion menyaksikan laga ini. Frustasi membuat saya mengambil jalan pintas dengan niat membeli tiket dari tangan calo tiket namun berakhir gagal karena calo sangat susah ditemui sore itu.
Alhasil saya mengalah dengan merelakan tiket saya untuk teman-teman saya. Walau terasa berat tapi saya harus bertanggung jawab terhadap mereka yang memberikan amanahnya.
Saya risau sekali karena gagal masuk ke dalam stadion. Sore itu sungguh emosional untuk saya. Bagaimana mungkin laga yang saya tunggu jauh hari dan saya persiapkan dari beberapa hari sebelumnya malah gagal saya lihat. Sedih? Sangat.
Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan dari tempat kami berkumpul menuju pintu 4 sisi utara Gelora Bung Karno. Saya dijanjikan oleh Andi Bactiar kalau kami bisa masuk bersama rombongan suporter fanatik Persija. Lagi-lagi usaha nihil, Andibachtiar terlanjur masuk dalam stadion bersama rombongan suporter The Jak.
Runtuh sudah harapan saya!
Zen adalah salah satu kawan saya yang juga gagal masuk ke stadion karena tiket itu direlakan untuk kawan lainnya yaitu Islah dan Baihaqi. Di pintu 4, Zen menujuk sebuah layar lebar. Saya paham itu adalah isyarat agar kami pergi ke arah layar lebar yang disediakan untuk nonton bola bagi mereka yang tidak memiliki tiket.
Saya tertegun dan mengehela nafas panjang. Di belakang punggung saya adalah tempat suci bagi saya dan kita semua, stadion yang selalu saya impikan sejak kecil ketika saya masih menuntut ilmu di sekolah sepakbola Arseto Solo untuk bermain di sana. Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Di tengah kegundahan kami, ditengah lalu lalang manusia, di tengah hiruk pikuk suasana di dalam stadion, lamat-lamat dari dalam stadion suara anchor menyerukan agar penonton berdiri karena akan diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia. Zen membentangkan syal Indonesia yang tersampir di lehernya dan saya mengepalkan tangan kiri saya ke angkasa, kali ini saya tidak memakai atribut Indonesia apapun.
Begitu musik dimulai. Saya, Zen dan 130 ribu manusia yang ada di Gelora Bung Karno menyanyikan lagu kebanggaan negara kami itu, hanya saja kali ini buat saya, terasa janggal. Pergulatan batin sorang suporter setia Indonesia yang sudah jauh hari mempersiapkan menonton berakhir gagal dan bagi saya menyanyikan lagu Indonesia Raya dari luar stadion membuat saya merasa berdosa. Entah kenapa?
Kami terus menyanyi dengan suara yang lantang Indonesia Raya tiap bait per baitnya meski suasana di luar stadion begitu riuh. Belum ada setengah lirik dari lagu, badan saya mulai merinding, bulu kudu saya berdiri. Saya makin mengeraskan suara saya dengan kedua tangan saya mengepal ke atas.
Tiba-tiba saya ingin meneteskan air mata, saya tak kuasa menahan haru akan kebanggaan saya terhadap negara ini. Lutut saya lemas begitu gema “Hiduplah tanahku, hiduplah negriku, bangsaku rakyatku semuanya, bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia raya” terdengar dari dalam stadion.
Akhirnya tetes air mata haru itu tumpah juga di pipi saya. Saya menangis, saya menangis, ya saya menangis.
Begitu lagu itu selesai, saya memandang langit-langit stadion, stadion yang begitu megah membawa perasaan saya hanyut dalam auranya yang. Dari ujung barat menuju timur saya melihat bagaimana pemuda-pemudi begitu bangga dengan mengibarkan bendera merah putih.
Sebenarnya saya selalu dilingkupi haru setiap kali saya mengumandangkan lagu itu secara bersama-sama. Baik di stadion maupun tidak di stadion. Hanya saja kali ini berbeda, sangat berbeda. Entah kenapa, ada sebuah kebanggaan, ada sebuah rasa cinta, yang saya tidak mampu lagi menjabarkan dengan kata.
Saya tidak mau melewatkan begitu saja laga ini, saya dan kawan-kawan akhirnya beranjak menuju layar lebar untuk menyaksikan pertandingan dan bergabung dengan suporter lainnya yang tidak kebagian tiket.
Begitu pertandingan selesai yang berakhir kemenangan untuk Indonesia, penonton mulai meninggalkan stadion dan hiruk pikuk penonton atas kemenangan Indonesia mulai mereda. Saya dan Zen berjalan keluar stadion.
Kami menuju pintu keluar kami sembari bergurau. Di tengah gurauan kami, saya berkata kepadanya: “Aku tadi nangis waktu nyanyi Indonesia Raya di luar stadion.” Dia hanya terkekeh seolah tak percaya seorang suporter keras kepala seperti saya bisa dilingkupi rasa haru yang tak biasa.
Di pintu keluar kami berpisah saling melambaikan tangan. Kami berpisah menuju rumah masing-masing. Ketika berjalan kaki menuju arah pulang saya berpikir hebat atas kejadian tadi, dan tiba-tiba saja teringat sebuah kalimat.
“Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah”
Adalah Tan Malaka yang menulis kalimat itu dalam buku Massa Actie dan Wage Rudolf Supratman lah yang mengubah kalimat itu menjadi bait dalam Indonesia Raya.
Saya pulang dengan senyum bangga, terima kasih untuk Tan Malaka, Wage Rudolf Supratman dan Timnas Indonesia untuk malam itu dan selamanya.
Indonesia Tanah Tumpah Darahku.
Ditulis oleh: Iqbal Prakasa / @colonelseven
Recomended by: Andibachtiar Yusuf, seorang Filmaker & Football Reverend. Find @andibachtiar on twitter.
http://www.ongisnade.co.id/2010/12/27/tumpah-darahku/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar