Sabtu, 13 April 2013

Nostalgia - Ada Polisi Miran, Suporter Tak Berani Bikin Rusuh



Selain bertugas sebagai polisi yang mengatur lalu lintas di jalan raya, Miran juga sering diminta untuk ikut mengamankan pertandingan sepakbola di Malang.

Bagi warga Malang, generasi 90-an, pasti banyak yang kenal dengan sosok polisi keras dan tegas ini. Muhammad Miran, begitu nama lengkapnya, adalah sosok polisi yang disegani oleh bawahannya di jajaran dinas kepolisian kota Malang serta ditakuti di jalan raya khususnya oleh para sopir angkutan umum dan tukang becak.

Tidak hanya sebagai polisi yang bertugas mengatur jalan raya, Miran juga sering diminta untuk menertibkan sekaligus menjaga keamanan pertandingan sepakbola di Malang.

Sekitar tahun 90-an, klub sepakbola Malang, Arema dan Persema, sebelum dibangunnya stadion Kanjuruhan, menggunakan satu stadion saja untuk melakoni laga home yaitu di Stadion Gajayana.
Untuk laga home ini, khususnya pertandingan Arema, pihak kepolisian selalu mengirimkan jumlah personil yang lebih dibandingkan ketika Persema menjadi tuan rumah.

Ini karena jumlah penonton pertandingan Arema selalu membludak dan sangat ramai diminati dibandingkan dengan pertandingan Persema.

Setiap kali ada pertandingan Arema, Miran juga selalu menjadi salah satu pengaman jalannya pertandingan. Di tahun tersebut, atmosfir kompetisi Galatama atau awal dibentuknya Liga Indonesia, nama kompetisi sepakbola Indonesia pada tahun 90an, selalu identik dengan yang namanya suporter rusuh, walaupun masih saja sama seperti sekarang.

Menurut salah satu Aremania yang ikut merasakan era tersebut, Miran adalah salah satu komandan polisi di lapangan ketika pertandingan Arema atau Persema berlangsung.

"Ketika ada pertandingan Arema atau Persema, tidak ada suporter yang berani bikin rusuh karena ada Miran," ungkap Eko, salah seorang Aremania kepada merdeka.com, Rabu (3/04).
Eko juga menuturkan bahwa secara fisik, Miran tidak memiliki tubuh yang tinggi besar. Namun, dia mempunyai keberanian menertibkan puluhan bahkan ratusan suporter yang menyemut di salah satu pintu masuk ke Stadion Gajayana.

Eko juga menuturkan bahwa pernah ada satu kejadian, sekitar tahun 95-an atau awal digulirkannya Ligina 1 atau 2, kala itu Arema menjamu Persipura di Gajayana. Terjadi perkelahian antara seorang suporter dari Arema dan Persipura.

Perkelahian bermula dari saling adu ejek antarsuporter yang mana pendukung tim Arema sebagai tuan rumah, nama Aremania belum digunakan seperti sekarang, merasa tersinggung dan marah ketika ada rekan mereka terluka di kepala karena dipukul oleh suporter tamu.

Kala itu, banyak juga pendukung dari tim Mutiara Hitam tersebut yang ternyata membawa senjata berupa pentungan yang disembunyikan di balik baju mereka. Dikarenakan suasana menjadi tidak kondusif, Miran dengan ketegasannya menggelandang kedua orang yang paling terlihat dan terlibat adu pukul tersebut keluar stadion.

"Miran tidak pandang bulu, tidak peduli orang Malang atau pendukung tim lain, kalau salah ya salah," jelas Eko.

Tidak hanya di dalam atau sekitar stadion Gajayana saja, Miran juga menuturkan kepada merdeka.com, dia tidak segan-segan mengambil tindakan keras apabila ada konvoi suporter yang bertindak ngawur, brutal, dan anarkis.

Pada tahun-tahun tersebut, aksi sweeping terhadap mobil dengan plat L sering terjadi. Apabila sebelum atau setelah pertandingan tersebut ada kendaraan dengan plat L melintas, pasti akan menjadi bulan-bulanan suporter.

"Tidak peduli, kalau memang perlu ditindak ya harus ditindak supaya kondisi kota Malang tetap kondusif," jelas Miran.
Sampai sekarang, Miran adalah polisi legendaris di Malang. Namanya tak pernah habis dibicarakan.
http://www.wearemania.net/sejarah/3269-nostalgia-ada-polisi-miran-suporter-tak-berani-bikin-rusuh

Anarkisme & Rasisme Suporter, Generasi Masa Depan Korbannya



Sepakbola merupakan olahraga terbesar dan paling banyak digemari di seluruh dunia. Di dalamnya terdapat sportivitas, solidaritas, dan integritas. Suporter adalah salah satu elemen penting dalam sepak bola. Tanpa suporter, atmosfer pertandingan sepak bola terasa hambar. Bagai sayur tanpa garam (Usman, 2010). Mereka memberikan dukungan secara moril dan materiil dengan menggunakan atribut-atribut yang menjadi ciri khas dari tim kesayangannya. Seperti warna, simbol binatang sebagai maskot, dan julukan khusus bagi para suporter dan timnya.

Dalam konteks sosial, sepakbola bisa sebagai alternatif menghilangkan rasa frustasi akibat himpitan hidup yang kian hari kian berat. Sepakbola bisa dijadikan media untuk menumpahkan segala kepenatan dan rasa frustasi masyarakat. Masyarakat tidak sekadar mencari hiburan untuk mengurangi kepenatan hidup lewat permainan akraktif pe-sepakbola di lapangan, tetapi seringkali mengidentifikasi kesebelasan favoritnya sebagai wakil penyampaian aspirasinya. Suporter dimanapun tentu mengharapkan kemenangan dan kejayaan timnya. Kemenangan merupakan dimensi tujuan setiap suporter menyaksikan pertandingan. Namun sayangnya, dimensi tujuan itu menjadi harga mati dan menimbulkan perasaan frustasi yang berlebihan apabila jauh dari harapan.

Pada intinya suporter adalah sumber sportivitas, solidaritas, integritas, dan kemeriahan dalam sepakbola. Tetapi sepakbola juga menyimpan fanatisme yang sering berujung anarkis. Suporter dapat membuat sepak bola menjadi ternoda. Suporter acapkali melakukan penyimpangan sosial (social deviation) yang sangat merugikan baik dari sisi moril maupun materiil. Seringkali mereka beranggapan kemenangan adalah harga mati yang harus dibayar dengan maskulinitas. Tujuannya untuk membangun citra bahwa mereka menjujung solidaritas.

Di Indonesia, kasus-kasus huru-hara sepak bola sudah sering terjadi. Seperti kasus yang pernah terjadi antara lain menghancurkan kaca-kaca stadion, membakar mobil, dan penjarahan terhadap pedagang-pedagang di stasiun. Kasus yang ditampilkan tersebut tentu berdampak meluas. Tidak hanya bagi dunia persepakbolaan tanah air melainkan juga memiliki dampak nyata di bidang ekonomi, sosial dan budaya secara luas tentu saja mengganggu stabilitas nasional

Selain anarkisme, isu rasisme pada sepakbola pun menjadi marak. Apakah rasisme itu? Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya.

Rasisme di sepakbola adalah penyalahgunaan pemain, pejabat dan penggemar karena warna kulit, kebangsaan, agama atau etnis. Beberapa mungkin menjadi target karena hubungan mereka dengan tim lawan. Namun, ada kasus individu yang ditargetkan oleh penggemar mereka sendiri.

Di luar negeri banyak contoh rasis ini, misalnya klub Lazio memang sudah lama dikenal sebagai kubu paling rasis di antara seluruh kubu pendukung klub-klub Seri A di Liga Italia. Maklum saja, dulu klub ini adalah klub kecintaan diktator Italia, Benito Mussolini. Tak mengherankan bila pendukung fanatik kesebelasan ini enak saja menghina pemain Lazio yang menurut mereka tak pantas mewakili klub kesayangannya.

Tentu saja membicarakan rasisme di persepakbolaan Indonesia khususnya suporter sedang hangat-hangatnya di bicarakan. Nyanyian-nyayian yang berbau rasis atau hujatan terhadap sebuah klub atau sekelompok suporter masih sering kita jumpai kala waktu ada pertandingan kompetisi resmi sepak bola di Indonesia. Tentu ini sangat disayangkan karena dapat membuat malu nama kelompok suporternya sendiri, selain dapat memperkeruh hubungan antar suporter, tidak enak di dengarkan dan juga tidak mendidik bagi suporter yang masih berusia dini.

Lagu-lagu rasis yang menjurus ke sebuah lagu hujatan, timbul karena adanya persaingan sebuah kelompok suporter. Setiap kelompok suporter mengaku bahwa kelompok suporternyalah yang paling baik, sebaliknya memandang kelompok suporter lain sebagai suporter yang bercitra buruk. Sebenarnya sah-sah saja jika terdapat seorang suporter mengagung-agungkan nama kelompok suporternya sendiri, karena itu juga berarti sebuah kebanggaan. Namun tidak menjadi sah jika kemudian seorang suporter tersebut menilai bahwa kelompok suporter lain bernilai buruk tanpa sebuah analisa yang cermat dan tepat.

Dangkal rasanya kalau ada yang berpikiran bahwa anarkisme dan rasisme yang terjadi pada supporter Indonesia tersebut dianggap sebagai sebuah bumbu penyedap (memangnya masakan?), sebuah hal yang unik, nyeni, menambah greget dalam persepakbolaan tanah air. Hal ini bukannya meningkatkan prestasi, justru menimbulkan dampak jangka panjang yang memprihatinkan. Anak-anak.

Ya, sepakbola adalah olahraga yang diminati oleh berbagai kalangan, termasuk anak-anak. Apa yang terjadi pada suporter, yang dianggap sebagai sosok keren oleh anak-anak, akan mudah ditiru begitu saja oleh generasi masa depan tersebut tanpa mengetahui sebab musabab bagaimana hal itu terjadi. Doktrin orang-orang dewasa di sekitarnya pun turut memperparah keadaan.

Menurut penelitian Lembaga Kesehatan Mental Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun menyimpulkan bahwa kekerasan yang dilihat oleh anak-anak menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja. Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada beberapa macam dampak kekerasan terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat ketiga, kedua adalah dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain, ketiga dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.

Miris melihat dengan begitu mudahnya anak-anak menyanyikan yel-yel ala suporter di stadion, atau berlaku urakan. Apakah kemelut antar suporter yang sekarang terjadi harus diwariskan pada generasi berikut, anak cucu kita kelak?

Fanatisme dan loyalitas sebagai pendukung sebuah klub bukan sebuah hal buruk, namun harus didasari oleh kebenaran, agar tidak menimbulkan rasisme dan anarkisme. Kalau bukan kita yang memikirkan generasi masa depan, siapa lagi. Ayo beraksi! (Dari berbagai sumber)
Salam damai untuk suporter Indonesia

Marlitha Geofenny
Penulis adalah Aremanita Parahyangan yang juga Admin Grup Facebook Aremania-Bobotoh satu Warna bukan musuh
http://www.wearemania.net/aremania/aremania-voice/3224-anarkisme-rasisme-suporter-generasi-masa-depan-korbannya