Rabu, 06 Februari 2013

Menjadi Professional (Bagian 2)



Arsenal membeli para pemain mudanya di usia 11-13 tahun, mereka menemukan Francesc Fabregas yang sedang berlari di La Masia, akademi Sepakbola di Barcelona di usia 12 tahun dan membelinya seharga 200 ribu pound!



Hari ini, siapapun yang ingin membeli playmaker utama klub dari London Utara itu harus merogoh koceknya sedalam 35 juta poundsterling.

Sistem investasi Si Gudang Peluru pun berhasil mengalihkan anggaran belanja mereka menjadi Stadion di Ashburton Grove, beberapa ratus meter dari kandang lama mereka, Highbury. Manajemen pun memberi nama Emirates pada kandang baru mereka untuk menghormati pihak sponsor yang membiayai pemugaran Stadion ini selama 10 tahun, sesuai janji kontrak mereka.

Dengan kapasitas mencapai 55 ribu tempat duduk, klub asuhan Arsene Wenger ini kemudian berhasil menggenjot pendapatan tiket mereka ke angka 100,1 juta poundsterling, sementara FA memberi mereka jatah nilai hak siar sebesar 75,8 juta poundsterling dari siaran langsung yang bisa dinikmati sampai ke Republik Indonesia yang jauh itu.

Anak-anak muda The Gunners secara kolektif “menyumbang” 48,1 juta poundsterling lewat pernak-pernik yang mereka punya. Kaos dengan nomor punggung mereka, action figure berbentuk tongkrongan mereka, segala benda komersial yang memajang nama atau bentuk fisik mereka dan tentu saja berbagai benda komersial lainnya yang membuat Arsenal mampu hidup sebagai sebuah tim tanpa perlu bantuan siapapun.
Demikian bagaimana Sepakbola bergerak dan menggeliat menjadi industri, bagaimana permainan terindah ini bisa menghidupi diri mereka sendiri. Berpikir menjadi badan usaha professional adalah satu-satunya cara. Jika Sepakbola ingin hidup dan berprestasi, mengindustri adalah satu-satunya jawaban.

Saat menjadi industri untung dan rugi menjadi pertimbangan. Membeli pemain semurah mungkin, menjadikannya bintang dan menjualnya dengan harga tinggi menjadi bahan pertimbangan utama…ujungnya, sekolah sepakbola bertambah, pembinaan berjalan dengan benar dan bakat-bakat muda itu tidak lagi akan kita temukan dari jalanan.

Benar, jika Real Madrid mampu menggelontorkan 151 juta euro hanya dalam satu paket pembelian, tapi harus dipahami berapa juta euro hutang mereka saat ini di Banca di Espana? Untuk membangun Los Neo Galacticos, Presiden Florentino Perez harus berhutang dalam jumlah besar pada bank besar di Spanyol tersebut….tapi hitung-hitungan dia tetap pada jalurnya, bisnis!

Sepakbola kita tak akan pernah bisa kemana-mana jika cara berpikir tadah tangan terus adalah target utama. Mengemis pada pemerintah lewat APBD, berkolusi untuk mendapatkan kemenangan, menyuap kiri dan kanan agar tim bisa melejit ke papan atas jelas bukan cara untuk berprestasi apalagi menghasilkan uang.
Lihat apa yang terjadi di Serie A 2006, bahkan tim sekelas Juventus mereka turunkan ke kasta divisi lebih rendah karena mereka dianggap telah berlaku curang.

Menjadi tim yang professional juga bukan berarti melulu soal menerima hak, tapi juga bagaimana menjalankan kewajiban. Arti kewajiban itu sendiri juga bukan soal tanggung jawab manajer untuk menalangi dana yang dibutuhkan, tapi jauh lebih besar dari itu.

Klub Sepakbola adalah badan usaha, dan jika manajer adalah si pelaksana pekerjaan, di belakangnya harus berdiri orang-orang yang paham pada pekerjaannya.

Layaknya perusahaan-perusahaan lain dimanapun itu, personalia, marketing, promosi, akuntan sampai direktur teknik yang gunanya jelas…menyeimbangkan neraca perusahaan, neraca klub.
Ditulis oleh Andibachtiar Yusuf, seorang Filmmaker & Footbal Reverend

http://www.ongisnade.co.id/2010/11/18/menjadi-professional-bagian-2/ 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar