Tapi, cerita belum selesai. Merasa namanya disebut-sebut, Abdi Purmono, koresponden Tempo di Malang yang juga berkontribusi pada tulisan investigasi itu, buka suara. Abel, begitu panggilan jurnalis yang lama meliput di dunia persepakbolaan Malang itu, menulis catatan di Facebooknya berjudul “Surat Terbuka kepada Aremania”.
“Saya tidak ikut milis Arema, jadi saya
berharap surat terbuka ini dapat dibaca untuk menjelaskan bagaimana
posisi saya sebenarnya dalam pembuatan laporan investigasi itu,” kata
Abel melalui sambungan telepon kepada Media Independen. Ia
menegaskan, sampai saat ini tidak berada dalam posisi terancam, terkait
dengan pemberitaan yang menimbulkan murka Aremania itu.
“Saya berterimakasih atas simpati sebagian
Aremania dan juga jurnalis di Malang yang mengkhawatirkan keselamatan
saya. Tapi, sejauh ini saya baik-baik saja,” kata pria lulusan perguruan
tinggi di Sumatera Utara itu.
Selengkapnya, surat terbuka Abel berbunyi demikian:
Salam satu jiwa!
Kawan-kawan Aremania sak ndunyo,
tolong dibaca dengan baik-baik, teliti, dan penuh kesabaran agar duduk
perkara yang sebenarnya dapat dipahami dengan berimbang dan adil.
Prinsip saya: kita sama-sama belajar dari masalah ini dengan bijak dan
penuh kerendahan hati.
Di Facebook saya menulis identitas saya sebagai orang yang “Masih belajar membaca, menulis, dan memotret. There’s no angel in the world.”
Saya senang belajar dari siapa pun. Sekitar 30-an tahun lalu, saya tahu
dasar-dasar catur dari anak SD kelas 3. Anak SD ini cucu guru mengaji
saya, juga adik kelas di madrasah ibtidaiyah di Kota Medan. Maaf, jadi
sedikit bernostalgia…
Saya sangat bisa berempati (bukan sekadar bersimpati) terhadap posisi dan perasaan nawak-nawak Aremania
setelah muncul laporan investigasi majalah TEMPO edisi 24-30 Januari
2011 soal suap di jagat persepakbolaan kita, dengan sampul berjudul
“KORUPSSI, Priiit…! Banyak sandiwara di lapangan bola.”
Tiga kali saya membaca laporan itu agar
saya tak salah atau asal-asalan memahaminya. Setelah membacanya, saya
merasa agak malu dan makin memahami mengapa kemudian Aremania protes,
mulai protes halus sampai kasar (ada yang pakai mengancam segala), mulai
dari yang pakai otak sampai yang asal celometan.
Lima poin sanggahan yang ditulis oleh Mas
Teguh R. Handoyo dan disampaikan ke Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO pada
Selasa, 25 Januari 2011, sudah proporsional. Satu poin lagi (tepatnya di
poin keenam) ditulis begini: Kontributor majalah Tempo di
Malang (Abdi Purnomo) sepertinya perlu dipertanyakan kredibilitasnya
karena banyaknya informasi yang tidak akurat dan menggiring opini
negatif para pembaca.
Sedangkan isi poin ketujuh: Bapak
Pemimpin Redaksi yang terhormat, Arema tidaklah suci dan sempurna. Namun
kami juga tidak seburuk dan sekotor yang digambarkan dalam tulisan Anda.
Mas Teguh sudah memberikan contoh sangat
baik dan berharga tentang bagaimana seharusnya persoalan pemberitaan
diselesaikan dengan cara yang beradab dan elegan, yakni dengan
menggunakan hak jawab dan hak koreksi.
Kedua hak itu diatur dan dilindungi dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tepatnya di Pasal 1
(ayat 11, 12, dan 13), Pasal 5 (ayat 2 dan 3), yang mewajibkan pers
melayani hak jawab dan hak koreksi. Kalau kedua hak ini tidak dilayani,
maka perusahaan pers dikenakan pidana denda sebesar Rp 500 juta.
Kewajiban wartawan untuk melayani hak jawab dan hak koreksi itu juga disebutkan dalam Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik: wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Insya Allah, majalah TEMPO akan memuat utuh
surat Mas Teguh pada edisi terbaru yang terbit tiap Senin (31 Januari
2011). “Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat
terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak
benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan,” demikian
bunyi ayat 13 Pasal 1 UU Pers.
Apa yang dilakukan Mas Teguh semoga ditiru
Aremania dan komunitas suporter lainnya jika menghadapi masalah serupa
dengan media massa mana pun. Arema dan Aremania sudah menjadi salah satu
ikon dan aset paling berharga bagi dunia persepakbolaan kita.
Nawak-nawak Aremania, saya bukan
penulis laporan itu. Dalam susunan redaksi Tim Investigasi Suap Sepak
Bola, saya bersama 12 rekan koresponden lain (Palangkaraya, Surabaya,
Denpasar, Wamena, Samarinda, Bandung, Kediri, Yogyakarta, Solo,
Bojonegoro, Makassar, dan Jakarta) hanya tercatat sebagai penyumbang
bahan. Ini jelas tertulis di edisi cetak majalah TEMPO, bukan versi online-nya. Saya ini laksana prajurit dalam satu regu patroli militer.
Di atas para penyumbang bahan ada
penanggung jawab, kepala proyek, penyunting, dan penulis. Beginilah
urutan personel dalam tim dari atas ke bawah. Tim inilah yang mengolah
seluruh bahan (biasa diistilahkan sebagai bahan belanjaan) dengan
menempuh banyak tahap atau prosedur. Coba bayangkan, untuk satu berita
biasa di koran, misalnya, bisa melewati enam tahapan proses, apalagi
untuk laporan panjang.
Pembaca tinggal membaca tanpa dikenai
kewajiban untuk ikut repot dan peduli memikirkan bagaimana susahnya
menggarap sebuah berita. Sebaliknya, kalau ada berita yang keliru,
pembaca justru berhak mengoreksi atau membantahnya. Cara terbaiknya ya
seperti yang dicontohkan Mas Teguh.
Meski hanya seorang penyumbang bahan, saya
sudah bekerja menurut prosedur dan standar jurnalistik. Dalam waktu dua
minggu saya menghubungi 9 narasumber. Semua narasumber bukan narasumber
eceran atau ecek-ecek. Mereka saya nilai memiliki kredibilitas sesuai
dengan kapasitasnya masing-masing baik sebagai pelaku maupun saksi.
Tidak semua narasumber mau diungkap
identitasnya dan saya wajib melindungi identitas dan keberadaannya
sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik. Dan tak
semua keterangan dikutip karena belum tentu relevan dengan tujuan
laporan dibuat.
Saya sama sekali tidak menyetor bahan
laporan tentang pertandingan-pertandingan Arema berikut skor akhir
pertandingannya, makanya saya kaget juga Arema disebut mengalahkan
Persija Jakarta dengan skor 2-1. Padahal Arema menang telak 5-1.
Dari 5 poin sanggahan yang dibuat Mas Teguh, hanya soal peran Nirwan Dermawan Bakrie yang nyambung
dengan bahan laporan yang saya kirim ke redaksi. Kisah peran Nirwan
sudah lama saya ketahui langsung dari Mas Lucky alias Sam Ikul, pendiri
Arema.
Saya hafal garis besar cerita pengelolaan
Arema dari masa awal berdiri sampai dibantu Nirwan hingga kisah Arema
sekarang. Saya menulis Nirwan membantu Arema Rp 61 juta. Bantuan
diberikan setelah Arema 86 terpaksa dibubarkan pada pertengahan Juni
1987 karena kehabisan duit. Kemudian Arema 86 dihidupkan dengan nama
baru: Arema.
Setelah uang diterima, Sam Ikul menguatkan
status PS Arema dengan membentuk Yayasan Arema dengan akta notaris Pramu
Handoyo No. 58 tanggal 11 Agustus 1987. Tanggal inilah yang sampai
sekarang diperingati sebagai hari ulang tahun Arema. Sam Ikul dapat
memenuhi janjinya mampu mendatangkan penonton dalam jumlah besar untuk
ukuran klub baru seperti Arema.
Waktu itu Persema Malang masih memiliki
jumlah penonton terbanyak. Karena kinerja Arema sudah bagus di tahun
pertama, Nirwan kemudian menjadi donatur alias tidak menjadi penyandang
dana sepenuhnya.
Nirwan sempat pula meminjamkan gratis
Bambang Nurdiansah alias Banur (kini jadi pelatih Jakarta 1928, klub
peserta Liga Primer Indonesia/LPI) kepada Arema di putaran kedua
kompetisi Galatama 1988-1989. Waktu itu Banur dikenal sebagai raja gol.
Nirwan dan Sam Ikul (dengan PT Putra Arema)
juga berkongsi merenovasi Stadion Gajayana di masa Wali Kota Soesamto
(1988-1998). Nirwan membantu hingga Arema menjadi juara Galatama XII
(1992-1993).
Setelah itu manajer Arema berganti-ganti,
mulai Haji Mislan, Vigit Waluyo (anak Haji Mislan), Iwan Budianto, Gandi
Yogatama, sampai kemudian diambilalih PT Bentoel Prima pada Rabu, 29
Januari 2003, di Hotel Regent’s Park. Skenario pengambilalihan Arema
dibahas dan diputuskan di rumah Bapak Iwan Kurniawan, bos PT Anugerah
Citra Abadi di Jalan Karya Timur 52 (call sign KT-52).
Selama dipegang Bentoel, Arema tak lagi
dipusingkan masalah keuangan. Bentoel mengumumkan pelepasan Arema pada
Senin, 3 Agustus 2009, di Hotel Santika. (Saya bersyukur bisa ikut
menghadiri kedua momen bersejarah Arema itu.)
Arema kembali sempoyongan setelah dilepas
Bentoel. Masalah klasik muncul lagi: gaji pemain dan karyawan telat
dibayar. Akibatnya, pemain sempat mogok latihan. Robert Alberts sempat
mengancam mengundurkan diri.
Dalam kondisi genting, Nirwan kembali
membantu Arema. Pada Kamis, 14 Oktober 2010, Ketua Yayasan Arema
Muhammad Noer memperkenalkan sponsornya di Ijen Nirwana, perumahan elit
milik Grup Bakrie. Noer mengumumkan Arema mengantongi uang sponsor
sekitar Rp 11 miliar, sekitar Rp 4,5 miliar dari Ijen Nirwana.
Selebihnya berasal dari Bank Saudara Rp 5
miliar, PT Mitra Pinasthika Mustika (distributor tunggal sepeda motor
Honda untuk wilayah Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur) Rp 800 juta
ditambah 17 unit sepeda motor senilai sekitar Rp 221 juta.
Belum sebulan, pada 1 November manajemen
justru mengumumkan defisit alias tekor Rp 7.136.000.000 (foto saya
lampirkan). Pembayaran gaji pemain untuk tiga bulan (Agustus, November,
Desember 2010) pun tertunda-tunda, sampai akhirnya kapten Pierre Njanka
menyatakan hengkang pada Senin, 10 Januari 2011.
Dua hari kemudian, tepat sebelum Arema
bertanding melawan tuan rumah PSPS Pekanbaru, manajemen membayarkan gaji
untuk bulan November dan Desember. Dari mana duitnya? Gelap. Beberapa
narasumber menyebutkan duit berasal dari pinjaman Pak Iwan dan bukan
sekali ini duit Pak Iwan dipinjam Arema. Sudah jamak diketahui Pak Iwan
seorang dermawan.
Saya pun bertanya pada Pak Iwan dan
jawabannya berupa SMS yang saya terima pada Kamis, 20 Januari 2011,
pukul 18.46 WIB. “Kalau soal Arema janganlah, Mas, karena tujuan saya
bantu Arema tanpa pamrih karena setelah mendadak tidak ada sponsor dari
Bentoel, Arema agak kedodoran. Jadi saya punya tanggung jawab moral
saja. Lagi pula Arema merupakan komunitas yang bagus untuk
persepakbolaan di Malang dan Indonesia. Gitu aja ya, Mas. Besok kita sambung lagi karena aku lagi nemenin tamu. Salam satu jiwa.”
Selama mencari dan mengumpulkan bahan
laporan itu pula saya jadi tahu siapa sebenarnya pemegang saham Arema.
Narasumber saya menyebutkan, setelah dilepas Bentoel, komposisi
kepemilikan saham dipegang Yayasan Arema dan Sam Ikul, dengan jumlah
saham 14 lembar.
Sebanyak 13 lembar saham dimiliki Yayasan
Arema, dengan pengurus Muhammad Noer, Moedjiono Moedjito, dan Rendra
Kresna. Sisa satu lembar saham (0,07 persen) diberikan kepada Sam Ikul
sebagai penghormatan kepada sang pendiri Arema.
Nilai tiap saham Rp 1 juta. Jadi, sejak
dilepas Bentoel, Arema punya saham hanya sebesar Rp 14 juta! Dan masih
banyak kisah menarik dan “seram” lainnya, seperti kisah manajemen yang
amburadul disertai konflik di dalamnya.
Bahan laporan yang saya kirim kemudian
“dijahit” oleh redaksi, digabung dengan bahan laporan dari teman-teman
saya yang lain. Kisah tentang Arema dalam laporan itu mirip kompilasi
dari berita-berita yang sudah ada sebelumnya, termasuk dari berita saya
untuk Tempo Interaktif dan Koran Tempo. Sebagian besar informasi dalam laporan sudah diketahui publik pencinta sepakbola.
Menurut saya, secara keseluruhan, laporan
investigasi itu sudah berimbang karena ada tanggapan dari pihak-pihak
yang disebut. Substansi isunya sudah menggambarkan masalah sangat besar
dalam persepakbolaan kita. Kalau ada narasumber tak mau diungkap
identitasnya, itu menjadi hak narasumber yang wajib dilindungi wartawan.
Saya tidak menggarap bahan laporan
berdasarkan “pesan sponsor” dari pihak-pihak tertentu seperti dituduhkan
beberapa Aremania kepada saya. Saya juga menolak jika disebut TEMPO
telah beropini dan sengaja menyudutkan Arema. Tapi untuk hal ini biar
redaksi saja yang menjelaskan. Yang jelas lagi terbaca oleh saya adalah
laporan investigasi itu sama sekali tidak fokus ke konflik antara PSSI
dengan konsorsium Liga Primer Indonesia.
Bagi saya, LSI dan LPI hanyalah alat untuk
memajukan persepakbolaan Indonesia. Tinggal tergantung siapa operator
atau pelaksananya; baik atau buruk, becus atau goblok, profesional atau
tidak profesional. Silakan publik pencinta sepakbola yang menilai siapa
nantinya jadi operator terbaik.
Sikap dasar saya soal LSI dan LPI itu sudah
saya tegaskan kepada orang-orang LPI dan petinggi PT Liga Indonesia,
juga kepada teman-teman wartawan yang mungkin sengaja menggoda atau
memang ingin mengejek saya sebagai wartawan pro-LPI.
Adalah fakta Koran Tempo menjadi sponsor LPI. Ini hubungannya dengan kegiatan marketing. Redaksi tak ikut campur. Walau Koran Tempo jadi
sponsor LPI, saya tak pernah dipaksa meliput kegiatan LPI. Begitu pula
dengan LSI. Bagi saya, kehadiran LPI mendatangkan peluang untuk membuat
berita lebih banyak.
“Cukup sekali kutegaskan. Aku bukan
wartawan LPI atau wartawan LSI. Aku wartawan TEMPO. Uang LPI dibelah
tujuh pun tak pernah kuterima,” begitu saya menegaskan kepada beberapa
teman wartawan. Penegasan itu pertama kali saya sampaikan di ruang kerja
Panitia Pelaksana Pertandingan Arema pada Senin, 16 November 2010, atau
empat hari setelah laga amal antara Persema melawan Indo Holland
digelar di Stadion Gajayana.
Saya bekerja untuk TEMPO selama hampir 10
tahun. Sedikit-banyak saya tahu bagaimana TEMPO menjaga independensinya.
Saya kira, tak hanya di TEMPO, semua media memang harus menjaga otonomi
redaksinya, termasuk harus terbebas dari intervensi pihak marketing.
Aremania silakan tak percaya atau
ragu-ragu. Aremania berhak memberi nilai positif dan negatif. TEMPO
bukanlah media yang 100 persen murni steril dari kelemahan dan
kesalahan. TEMPO tidak terlalu suci untuk diagungkan meski masih
memiliki reputasi yang bagus hingga sekarang—minimal bagi para
penggemarnya.
Saya kagum pada TEMPO, tapi saya menolak
menjadi pengagum yang buta karena terlalu fanatik sehingga sulit
menerima atau malah tak mau menerima kelemahan TEMPO. Seingat saya,
pendiri TEMPO mengajarkan, kebenaran bisa datang dari siapa pun dan dari
tempat-tempat yang paling tidak kamu sukai.
Asal nawak-nawak sekalian ketahui
juga, gara-gara polemik tentang LSI dan LPI, hubungan antara beberapa
teman wartawan di Malang menjadi kurang harmonis dan terkesan
berkubu-kubu: pro LSI dan pro LPI. Hubungan tak harmonis ini berdampak
cukup buruk pada saya dan banyak teman wartawan yang ingin tetap bekerja
profesional dan menjaga independensinya. Saya menyebutnya sebagai
wartawan “poros tengah”.
Oleh karena itu, wartawan poros tengah
berencana mengadakan sebuah diskusi tentang independensi media dalam
liputan sepakbola pada Februari mendatang. Jadwal pastinya sedang
dibahas. Doakan ya semoga rencana kami lancar.
Saya cukup hafal sejarah Arema dan Aremania
dari awal berdiri sampai sekarang. Hafalan ini tidak hanya saya dapat
dari bacaan, tapi juga cerita dan kesaksian para pelaku, terutama
pendiri Arema, serta kehadiran saya di stadion dan di luar stadion untuk
merekam jejak-jejak Arema dengan segala romantikanya. Sebagian
romantika itu saya rekam dalam foto seperti saya muat di album foto di
Facebook yang saya beri judul “Salam Satu Jiwa!”
Masa kerja saya masih pendek. Sebelum bekerja untuk TEMPO, saya bekerja untuk majalah PANJI Masyarakat dengan
tugas pertama di Aceh dan Medan (1999-2000), lalu Jakarta. Karir saya
di TEMPO dimulai dari Jember, lalu ke Malang hingga sekarang. Aktivitas
lain adalah menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang dan
mengajar di Universitas Muhammadiyah Malang.
Saya sekolah memang untuk jadi wartawan.
Saya sangat paham prinsip dan standar jurnalistik yang tak boleh
dilanggar seorang wartawan. Saya tidak memaksa, tapi kalau mau adil
menilai, silakan lihat arsip-arsip berita saya tentang Arema di www.tempointeraktif.com
dengan nama asli saya ABDI PURMONO atau ABDI PURNOMO (nama kedua ini
keliru) di mesin fasilitas pencarian berita di pojok kanan atas.
Apabila saya dianggap bersalah karena
membuat berita bohong sehingga menimbulkan fitnah atau sengaja merugikan
Arema dan Aremania, apalagi saya dituduh membenci Arema, tentu saya
takkan menerima semua ajakan pertemanan dari banyak Aremania di
Facebook. Hasilnya, saya menerima banyak kritik, protes, cacian, dan
ancaman. Namun semua saya terima dengan lapang dada dan semampu mungkin
saya menjelaskan masalahnya kepada Aremania yang bertanya. Menyampaikan
surat terbuka ini merupakan bentuk tanggung jawab moral saya kepada
Aremania.
Dan, alhamdulillah, banyak Aremania yang
kini menjadi teman setelah mendapat penjelasan dari saya. Beberapa
Aremania memang sudah mengenal saya secara pribadi jadi lebih mudah
memahami sikap dan posisi saya sekarang ini. Saya percaya, banyak teman
mendatangkan banyak kebaikan.
Jika masih banyak Aremania keberatan,
silakan protes ke redaksi dan lapor ke Dewan Pers. Minta Dewan Pers
menjadi mediator. Bila perlu Aremania silakan berunjuk rasa di kantor
majalah TEMPO jika TEMPO tak melayani pemuatan surat dari Mas Teguh.
Saya juga mencintai Arema tapi kita bisa
berbeda cara dan gaya dalam mengekspresikannya; kita boleh tidak saling
suka, tapi jangan sampai saling membenci sehingga kita harus bersikap
egoistis dan bersikap pokoke dengan menolak kebenaran dari orang yang tidak kita suka atau kita benci.
Saya sangat menghargai dan menaruh hormat
terhadap Aremania yang memberikan tanggapan. Apabila ada hal-hal yang
belum memuaskan dan tidak mengenakkan hati dalam surat terbuka ini, saya
meminta maaf lahir dan batin dengan setulus-tulusnya.
Matur sembah nuwun untuk kesediaan Aremania membaca dan memahaminya.
Malang, Minggu, 30 Januari 2011 (pukul 01.15 WIB) Salam Satu Jiwa, Arema!
Demikianlah, laporan investigasi Majalah Tempo
menguak borok sepakbola Indonesia berbuntut polemik. Tapi, keberatan
lewat mailing list yang juga dikirimkan ke redaksi itu, setidaknya telah
mendapat penjelasan super detail dari salah satu awaknya. Semoga, semua
pihak bisa bersikap dewasa dalam persoalan ini.
Jojo Raharjo
Sebagai media jurnalistik yang terkemuka
seharusnya profesional, mengemukakan fakta dengan akurat dan tidak
tendensius. awal saya baca saja sebagai aremania saya langsung ngelus
dada,jika hanya 1 kesalahan fakta,mungkin bisa dimaklumi, tetapi kalau
sampai miring sampai 10 kesalahan, kesabaran apalagi yang harus kami
tahan sebagai aremania, malah nyuruh2 demo dll. jika memang Tempo
bertanggung jawab, tentu sudah tahu diri bagaimana menetralisir hasutan
yang telah ditulis tempo…jika tidak ya terserah, kami punya cara sendiri
menyikapi majalah=majalah yang tidak profesional bagi komunitas kami
aremania…
Sebenarnya terjawab sudah walaupun kecil tentang akhirnya muncul dualisme Arema antara ISL dan IPL.........
Karena Terbukti tempo merupakan Media yang mnjadi sponsor utama LPI dan PSSI Djohar.
Habisss...............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar