Malam
makin tua di Malang dan kota menggigil dalam hujan yang tak berhenti sejak
sore. Hari sebentar lagi berganti di tengah malam, ketika saya membelok ke
sebuah rumah di Gang Payaman, gang kecil di kota itu. Pendaran cahaya lampunya
memantul dari temboknya yang putih, menerangi beberapa orang yang terlihat
kongko-kongko di ruang tamu. Rumah kecil dengan tiga kamar kecil, tapi bukan
tempat biasa. Rumah milik Handoko itu adalah markas tak resmi Aremania,
penggemar fanatik kesebelasan Arema yang mengaku punya limaratus ribu lebih
anggota-separuh lebih penduduk Malang."Selamat datang di negri egaliter.
Aremania selalu siap 24jam untuk berbagai kegiatan, termasuk untuk
wawancara," kata Hery Wahyu yang menjemput dan mengantar saya sejak dari
surabaya. Dia salah seorang pelaku, demikian sebutan mereka untuk para pendiri
Aremania. Awalnya saya tak bisa menangkap sepenuhnya makna ucapannya. Tapi
begitu masuk ke dalam rumah, suasana berubah. Beberapa pentolan Aremania ikut
nimbrung dan meladeni pertanyaan-pertanyaan saya dengan sambutan yang akrab,
tanpa basa-basi, dan terbuka. Saya mengingat beberapa nama yang sering
menjawab, Hery, Syamsul Arifin, Handoko, Syaiful, Endik dan Kancil.
Tuan rumah menyuguhkan kopi dan teh, nasi bungkus dan
kerupuk, yang langsung mencairkan suasana malam itu. Apalagi suasananya begitu
akrab, seperti teman lama yang baru bersua, tanpa perasaan malu-malu.
"Beginilah kalau Aremania bertemu," kata Hery.Sebelum ada Aremania,
kata Hery orang-orang Malang dikenal menggandrungi persamaan derajat. Ketika
Aremania muncul, mereka merasa di satukan. "Aremania itu identitas
kultural, rumah arek-arek yang merasa senasib dan sepenanggungan, semuanya
dalam posisi sama," kata Hery.Pendukungnya membesar begitu Arema menjadi
juara Galatama pada musim kompetisi 1992/1993.
Sebaliknya, Persema Malang seperti dikesampingkan mungkin
dianggap dekat dengan pemerintah lokal. Suatu ketika, saya pulang dari
pertemuan Aremania di daerah Sama'an dan berpapasan dengan seorang berkostum
Persema. Tiba-tiba saja ada orang yang berboncengan sepeda motor meneriakinya
dengan kata-kata makian, seperti ingin mengusir keluar dari Malang. Saking
besarnya makna Aremania bagi sebagian besar masyarakat Malang, atribut Aremania
pun terkesan sakral. Mereka tidak malu-malu memakainya untuk syukuran, hajatan
atau doa bersama atau memakainya saat upacara pernikahan seperti ketika Lukman,
salah satu anggotanya menikah.
Awalnya bulan Agustus 1987, dalam pertemuan dengan
wartawan di restoran Kertasari, ketika Acub Zaenal dan anaknya Lucky Acub
Zaenal mendirikan klub Galatama (Liga Sepak Bola Utama) baru untuk kota Malang.
Orang-orang yang hadir bingung memilih nama kesebelasan, sampai Acub
melontarkan nama Arema dan langsung mengena. Para supporter dari gang-gang
mulai sering bertemu di Stadion Gajayana, kemudian berlanjut ke diskusi yang
lebih serius, Hery Wahyu yang saat itu menjadi wartawan Harian Birawa, membawa
arek-arek itu berdiskusi di kantornya, Jalan Dieng III. "Entah siapa yang
bicara, tiba-tiba muncul nama Aremania. Jadi, pencetus nama Aremania adalah NN
alias no name," kata Endik Yuniarto.
Nama Aremania semakin paten, ketika Arema menggelar
pertandingan tandang pertama melawan Persebaya di surabaya pada pembukaan Liga
Indonesia IV tahun 1996. Atribut Aremania yang berlambang singa mulai dipakai.
Lambang singa itu sendiri dipakai karena Arema lahir di bulan Agustus yang
berzodiak singa sejak jaman kolonial Belanda.Aremania selalu membawa ciri khas
supporter yang ramah dan simpatik. Mereka menyuguhkan atraksi sendiri lewat
olah gerak yang padu dan serasi, serta nyanyian-nyanyian yang menarik.
"Ketika tour pertama, Dandim Malang Letkol Sutrisno sampai mengawal dan
memberi uang karena takut supporter bikin rusuh dan tak bayar tiket. NAMUN UANG
ITU AKHIRNYA UTUH, KARENA KITA MENGHARAMKAN NONTON SEPAK BOLA GRATIS,"
kata Syamsul Arifin.
Gaya Aremania ini bak virus menjalar kemana-mana. Tak lama
kemudian muncul kelompok supporter lain dengan gaya di lapangan yang mirip
sama. Sebut saja Pasoepati Solo, Jakmania, Asykar The King pendukung PSPS Pekan
Baru, The Macz Man supporter PSM Makassar. Apalagi setelah Aremania di nobatkan
sebagai kelompok supporter terbaik oleh Persatuan Sepakbola Sekuruh Indonesia
tahun 2000, ada banyak tarian dan lagu yang ditiru supporter lain, misalnya
"Ayo ayo Arema, sore ini kita harus menang," lagu dari Cile yang
diajarkan Juan Rubio, pemain Arema dari negri itu.
Dosen pascasarjana Universitas Negri Malang Joko Saryono
menjelaskan, Aremania memilih membangun jaringan, bukan struktural. Meskipun
Malang relatif dekat dengan pusat-pusat kekuasaan kerajaan seperti Singosari,
Kanjuruhan atau Kepanjian yang menjadi markas para ksatria Singosari, tetapi
orang Malang jauh dari lingkungan dalam kekuasaan itu. Mereka menjadi
masyarakat majemuk yang telah bercampur antara orang Malang dan para pendatang.
Sehingga egalitarianisme sangat cocok karena memudahkan komunikasi dan
hubungan. Selain itu, orang Malang memiliki kultur Arek atau Jawa Timuran yang
tidak mau tunduk dibawah pengaruh kebudayaan Negari Gung seperti Mataram yang
dianggap pusat pengaruh kebudayaan Jawa."Orang Malang lebih suka hal-hal
sederhana, lugas, terbuka, egaliter dan menjunjung asas kesamaan," kata
Joko, "lalu terbentur kultur yang berwatak tekstural dengan kontur yang
dapat berubah-ubah karena bersumber dari egalitarianisme. Sedangkan Arema atau
sepakbola hanya wadahnya saja."
Dan Aremania berhasil membawa ideologi itu, melalui
penerimaan anggota dari berbagai suku dan daerah manapun du seluruh Indonesia,
bukan terbatas orang Malang. Jadi tak mengherankan bila anggota Aremania
tersebar keluar Malang seperti ke Blitar, Purwodadi, Lawang, dan berbagai kota
besar di Indonesia termasuk Jakarta, bahkan di luar negri seperti Colorado,
Amerika Serikat dan Jerman dengan kordinator wilayah masing-masing. Saat ini
ada 150 koordinator wilayah (korwil) Aremania yang dibagi berdasarkan gang-gang
kecil tempat para supporter tinggal di Malang, bukan berdasarkan batas-batas
administratif yang ditetapkan pemerintah seperti rukun tetangga, rukun warga
atau dusun dan desa. Aremania tergolong pelopor supporter sepakbola Indonesia
yang tidak mempunyai struktur organisasi. "Ketika Orde Baru ada istilah
organisasi tanpa bentuk, mungkin kami seperti itu tapi tetap terkoordinasi
rapi," kata Handoko. Dengan jaringan Aremania tetap kuat dan komunikasi
lancar. Mereka juga peka terhadap intrik. Salah satunya ketika pergolakan Mei
1998, Aremania keluar mengamankan kota Malang dari masuknya provokator yang
ingin memicu kerusuhan kota.
Sebagai kelompok yang punya jaringan luas dan anggota besar,
mereka menjadi incaran politikus. Namun Aremania sudah bersikap tegas anti
politik, praktis dan tetap independen. Selain itu tanpa struktur organisasi dan
pemimpin, sulit bagi para politikus mengendalikan mereka. Sikap yang sama juga
ditunjukkan oleh Jakmania, pendukung Persija Jakarta. Menurut salah satu
pendirinya Ferry Indrasyrief, tawaran politik sering datang ke Jakmania, tapi
selalu ditolak. "Sebab kami punya dua tabu: no politicy dan no profit.
Artinya organisasi Jakmania tak boleh terlibat politik dan pengurusnya tak
boleh mencari keuntungan pribadi," tegasnya.Tapi berbeda dengan bonekmania
atau Deltamania yang pendukung Deltras Sidoarjo, keduanya tahun lalu
terang-terangan menyatakan dukungan kepada salah satu calon kepala pemerintahan
di daerahnya. "Waktu itu kami memang mendukung Bambang DH menjadi walikota
surabaya. Alasannya karena ia peduli terhadap prestasi sepakbola," kata
Wastomi Suheri, Ketua Yayasan Supporter Surabaya (YSS) yang juga sesepuh
supporter surabaya. Alasan serupa disampaikan Deltamania, ketika tahun lalu
mendukung(termasuk ikut kampanye) pemilihan Bupati Sidoarjo. Dukungan diberikan
kepada pasangan Win Hendraso dan Syaiful Illah, karena Illah adalah manajer
Deltras dan peduli sepakbola. "Tapi kami harus keluar dari politik, sebab
independensi kelompok supporter lebih utama," kata penasihat Deltamania
Wawan, yang dibenarkan ketuanya Agus Fery.
Bentrokan sering mewarnai hubungan para penggila bola ini,
terutama ketika bertemu di lapangan. Aremania misalnya, pernah bentrok dengan
Sakeramania pendukung Persekabpas Pasuruan, Deltamania, dan terutama bonekmania.
Atau Jakmania dan Viking supporter Persib Bandung yang tak pernah akur. Menurut
Joko, antara Surabaya dengan Malang terjadi perebutan identitas
"arek," karena itulah mereka sulit didamaikan. Meski begitu di
tingkat elit selalu diusahakan hubungan yang erat. Misalnya ketika akan tour,
supporter tamu akan bertamu ke elit supporter tuan rumah terlebih dahulu.
Bahkan terkadang sering terjadi penjemputan yang ramah, Jakmania dan Aremania
misalnya sangat erat. Bahkan jika Aremania tour ke Jakarta, Jakmania membantu
dan ikut menyumbang nasi bungkus. Demikian juga sebaliknya, Aremania akan
menyambut baik Jakmania di kota Malang.
Di antara kelompok supporter itu, nama yang menghebohkan
mungkin bonekmania, kelompok pendukung fanatik persebaya surabaya. Tetapi
menyebut nama bonek seringkali yang muncul adalah gambaran buruk! sejarah yang
dipenuhi aksi penjarahan, kekerasan, kerusuhan, dan kerusakan yang dilakukan
anggotanya. Istilah bonek atau bodho nekat atau tak bermodal, sebenarnya sudah
lama populer di surabaya dan awalnya berkonotasi positif. Istilah itu dipakai
menggambarkan kenekatan pemuda-pemuda surabaya dalam melawan penjajah Belanda,
meskipun tak punya modal senjata yang cukup. Awalnya tahun 1987, ketika sebuah
harian yang terbit di surabaya mengerahkan 300 bus supporter ke Jakarta untuk
mendukung persebaya tampil di final kompetisi perserikatan lawan PSIS Semarang.
Ternyata persebaya kalah, sepulangnya dari pertandingan, SEBAGIAN SUPPORTER
PERSEBAYA MELAKUKAN PENJARAHAN DAN PERUSAKAN di Jakarta, di tempat-tempat yang
mereka lewati. "TERNYATA SEBAGIAN SUPPORTER TAK BERMODAL, mereka melakukan
penjarahan dan perusakan. Sejak itu supporter persebaya terkenal dengan nama
bonek," ungkap ketua Yayasan Supporter Surabaya (YSS), Wastomi Suheri. Bahkan
bila persebaya tampil di rumah sendiri yakni Stadion Tambaksari Surabaya, ada
saja SUPPORTER YANG MELAKUKAN PERUSAKAN ATAU PENJARAHAN TOKO DAN MEMALAK
MOBIL-MOBIL YANG LEWAT. Tak aneh lagi jika persebaya main banyak toko memilih
tutup.
Arum, 28 tahun, penjaga warung di Stasiun Jatinegara
Jakarta, masih ingat benar ulah para bonek ini. Dia sudah 6 tahun menjadi
penjaga toko kelontong di Stasiun Senen dan 4 tahun terakhir ini di Stasiun
Jatinegara. Menurutnya, diberikan atau tidak, BONEK TAK AKAN MEMBAYAR APAPUN.
Begitu berhenti di Stasiun, banyak bonek akan turun dan menyerbu warung-warung.
Kalaupun warung tutup, MEREKA AKAN MENCUNGKIL LEMARI ROKOK ATAU MINUMAN RINGAN.
"Waktu saya masih jaga warung di Stasiun Senen, saya sudah tutup semua
pintu. Tapi begitu bonek meninggalkan stasiun, lemari es kami sudah pecah dan
isinya ludes."Menurut Wastomi, para supporter pelaku kerusuhan itu
tergolong kelompok kecil di kalangan supporter persebaya, ia menggolongkan
supporter persebaya menjadi 3: bermodal dan sportif, bermodal tapi tak mau
mengakui kekalahan, dan yang terakhir tak bermodal juga tak mau tahu
kesebelasannya kalah atau menang yang penting bikin aksi. Parahnya, ujar
Wastomi, aksi mereka mempengaruhi yang lain.Meskipun ditolak sebagian besar
supporter, Wastomi mulai memperkenalkan nama baru "B Fasters"
(Barisan Fanatik Suppoter Surabaya) untuk mengubah citra bonek yang terlanjur
buruk. Harapannya nama ini akan mengganti bonekmania.
Munculnya kelompok supporter juga membawa pengaruh positif
terhadap kehidupan sosial di kotanya masing-masing. Setidaknya, kehadiran
kelompok ini mampu meredam kejahatan dan tawuran antar geng. Di Malang pada era
1970-an sampai awal 1990-an bermunculan geng-geng yang membuat wajah kota
dingin itu menjadi tak ramah. Generasi remaja Malang era 80-an mungkin masih
ingat nama-nama seram seperti Argom (Armada Gombal), Prem (Preman Malang),
Higam (Hidup Gembira Awet Muda), RAC (Rakyat Anti Cina), Raja (Rakyat Anti
Jawa), Arpol (Arek Polehan), Ancor, Inggris, Jerman, Jepang, Combat, GAS (Gabungan
Anak Setan), dan ACI (Aregereg Combat Inggris). Mereka sering terlibat tawuran
antargeng. Hampir setiap malam minggu terjadi tawuran yang berujung pada korban
luka atau tewas. Namun begitu muncul Aremania, mereka bergabung menjadi satu
identitas sebagai arek Malang dan solidaritas yang sama.Geng-geng menakutkan
itu lambat laun hilang dan punah. "Ketika terikat dalam Aremania, tabu
berkelahi sesama saudara," kata Syaiful, mantan anggota geng GAS. Kancil
yang mantan anggota ACI tertawa mengingat masa lalunya. "Kami dulu
bermusuhan dengan Syaiful, sekarang bersaudara karena Aremania."
Hal sama terjadi di jakarta, hadirnya Jakmania memengaruhi
tawuran antarkampung, geng, atau sekolah. Menurut Ferry Indrasyarief, sejak
adanya Jakmania masyarakat Jakarta menjadi satu. Tawuran antarpelajar yang dulu
sering terjadi di hari sabtu. "Sesama Jakmania adalah saudara, salam
Jakmania berbentuk ibu jari dan telunjuk yang mirip huruf J sekarang menjadi
tanda persahabatan," katanya. Jakmania juga mampu membangun primordialisme
baru di Jakarta. Dulu orang tak mau mendukung Persija, karena penduduk Jakarta
sebagian besar pendatang. Mereka justru mendukung tim daerah asalnya ketika
bertanding di Jakarta. "Kami membangun Jakmania dari 40 orang pendiri.
Filosofinya Satu Jakarta Satu dan Gue Anak Jakarta. Bukan anak Betawi,"
kata Ferry.Selain itu, kelompok supporter ternyata membuka lapngan kerja karena
atribut marak di berbagai kota. Di Malang, atribut Aremania ibarat tambang
uang. Ivan Syahrul pemilik Ultras, toko atribut Aremania terbesar menuturkan,
rata-rata hasil penjualan kotor atribut sebulan mencapai Rp.30 juta. Itu baru
di hari biasa, jika di hari liburan atau lebaran, bisa mencapai Rp.130 juta.
Ternyata sebagian pembeli adalah turis lokal dari luar kota Malang yang menjadikan
atribut supporter Aremania itu sebagai oleh-oleh "khas" kota Malang.
Sebagai bentuk terima kasih kepada Arema, Ivan mengaku pernah menyumbangkan
kostum pertandingan atau latihan buat para pemain kesebelasan itu.
Matahari sudah menerobos semua celah ketika saya tersadar
hari sudah berganti saat wawancara berakhir. Arek-arek yang juga menjuluki
kesebelasannya Singo Edan ini, perlahan beringsut dari kursi masing-masing.
Endik tersenyum meringis membanyangkan bakal kena damprat istrinya karena
semalaman tak pulang. Handoko si empunya rumah sedang bersiap-siap untuk
bekerja, Syaiful dan Syamsul akan bertemu dengan Aremania di Sama'an pagi itu.
Sedangkan saya masih sempat menyeruput kopi pagi dang penganan yang di suguhkan
tuan rumah. Pagi yang benar-benar hangat oleh matahari yang menguapkan sisa
hujan, kopi kental, dan keramahan mereka. Saya membaca lagi tulisan One Heart
yang disablon di sebelah gambar singa lambang Arema, di atas selembar kaos
oblong. Saya membelinya sebelum meninggalkan Malang, untuk mengingatkan betapa
supporter di negri ini ternyata bisa sangat ramah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar