Jumat, 24 Agustus 2012

Aremania (NATIONAL GEOGRAPHIC, June 2006)



Malam makin tua di Malang dan kota menggigil dalam hujan yang tak berhenti sejak sore. Hari sebentar lagi berganti di tengah malam, ketika saya membelok ke sebuah rumah di Gang Payaman, gang kecil di kota itu. Pendaran cahaya lampunya memantul dari temboknya yang putih, menerangi beberapa orang yang terlihat kongko-kongko di ruang tamu. Rumah kecil dengan tiga kamar kecil, tapi bukan tempat biasa. Rumah milik Handoko itu adalah markas tak resmi Aremania, penggemar fanatik kesebelasan Arema yang mengaku punya limaratus ribu lebih anggota-separuh lebih penduduk Malang."Selamat datang di negri egaliter. Aremania selalu siap 24jam untuk berbagai kegiatan, termasuk untuk wawancara," kata Hery Wahyu yang menjemput dan mengantar saya sejak dari surabaya. Dia salah seorang pelaku, demikian sebutan mereka untuk para pendiri Aremania. Awalnya saya tak bisa menangkap sepenuhnya makna ucapannya. Tapi begitu masuk ke dalam rumah, suasana berubah. Beberapa pentolan Aremania ikut nimbrung dan meladeni pertanyaan-pertanyaan saya dengan sambutan yang akrab, tanpa basa-basi, dan terbuka. Saya mengingat beberapa nama yang sering menjawab, Hery, Syamsul Arifin, Handoko, Syaiful, Endik dan Kancil.

Tuan rumah menyuguhkan kopi dan teh, nasi bungkus dan kerupuk, yang langsung mencairkan suasana malam itu. Apalagi suasananya begitu akrab, seperti teman lama yang baru bersua, tanpa perasaan malu-malu. "Beginilah kalau Aremania bertemu," kata Hery.Sebelum ada Aremania, kata Hery orang-orang Malang dikenal menggandrungi persamaan derajat. Ketika Aremania muncul, mereka merasa di satukan. "Aremania itu identitas kultural, rumah arek-arek yang merasa senasib dan sepenanggungan, semuanya dalam posisi sama," kata Hery.Pendukungnya membesar begitu Arema menjadi juara Galatama pada musim kompetisi 1992/1993.

Sebaliknya, Persema Malang seperti dikesampingkan mungkin dianggap dekat dengan pemerintah lokal. Suatu ketika, saya pulang dari pertemuan Aremania di daerah Sama'an dan berpapasan dengan seorang berkostum Persema. Tiba-tiba saja ada orang yang berboncengan sepeda motor meneriakinya dengan kata-kata makian, seperti ingin mengusir keluar dari Malang. Saking besarnya makna Aremania bagi sebagian besar masyarakat Malang, atribut Aremania pun terkesan sakral. Mereka tidak malu-malu memakainya untuk syukuran, hajatan atau doa bersama atau memakainya saat upacara pernikahan seperti ketika Lukman, salah satu anggotanya menikah.

 Awalnya bulan Agustus 1987, dalam pertemuan dengan wartawan di restoran Kertasari, ketika Acub Zaenal dan anaknya Lucky Acub Zaenal mendirikan klub Galatama (Liga Sepak Bola Utama) baru untuk kota Malang. Orang-orang yang hadir bingung memilih nama kesebelasan, sampai Acub melontarkan nama Arema dan langsung mengena. Para supporter dari gang-gang mulai sering bertemu di Stadion Gajayana, kemudian berlanjut ke diskusi yang lebih serius, Hery Wahyu yang saat itu menjadi wartawan Harian Birawa, membawa arek-arek itu berdiskusi di kantornya, Jalan Dieng III. "Entah siapa yang bicara, tiba-tiba muncul nama Aremania. Jadi, pencetus nama Aremania adalah NN alias no name," kata Endik Yuniarto.

Nama Aremania semakin paten, ketika Arema menggelar pertandingan tandang pertama melawan Persebaya di surabaya pada pembukaan Liga Indonesia IV tahun 1996. Atribut Aremania yang berlambang singa mulai dipakai. Lambang singa itu sendiri dipakai karena Arema lahir di bulan Agustus yang berzodiak singa sejak jaman kolonial Belanda.Aremania selalu membawa ciri khas supporter yang ramah dan simpatik. Mereka menyuguhkan atraksi sendiri lewat olah gerak yang padu dan serasi, serta nyanyian-nyanyian yang menarik. "Ketika tour pertama, Dandim Malang Letkol Sutrisno sampai mengawal dan memberi uang karena takut supporter bikin rusuh dan tak bayar tiket. NAMUN UANG ITU AKHIRNYA UTUH, KARENA KITA MENGHARAMKAN NONTON SEPAK BOLA GRATIS," kata Syamsul Arifin.

Gaya Aremania ini bak virus menjalar kemana-mana. Tak lama kemudian muncul kelompok supporter lain dengan gaya di lapangan yang mirip sama. Sebut saja Pasoepati Solo, Jakmania, Asykar The King pendukung PSPS Pekan Baru, The Macz Man supporter PSM Makassar. Apalagi setelah Aremania di nobatkan sebagai kelompok supporter terbaik oleh Persatuan Sepakbola Sekuruh Indonesia tahun 2000, ada banyak tarian dan lagu yang ditiru supporter lain, misalnya "Ayo ayo Arema, sore ini kita harus menang," lagu dari Cile yang diajarkan Juan Rubio, pemain Arema dari negri itu.

Dosen pascasarjana Universitas Negri Malang Joko Saryono menjelaskan, Aremania memilih membangun jaringan, bukan struktural. Meskipun Malang relatif dekat dengan pusat-pusat kekuasaan kerajaan seperti Singosari, Kanjuruhan atau Kepanjian yang menjadi markas para ksatria Singosari, tetapi orang Malang jauh dari lingkungan dalam kekuasaan itu. Mereka menjadi masyarakat majemuk yang telah bercampur antara orang Malang dan para pendatang. Sehingga egalitarianisme sangat cocok karena memudahkan komunikasi dan hubungan. Selain itu, orang Malang memiliki kultur Arek atau Jawa Timuran yang tidak mau tunduk dibawah pengaruh kebudayaan Negari Gung seperti Mataram yang dianggap pusat pengaruh kebudayaan Jawa."Orang Malang lebih suka hal-hal sederhana, lugas, terbuka, egaliter dan menjunjung asas kesamaan," kata Joko, "lalu terbentur kultur yang berwatak tekstural dengan kontur yang dapat berubah-ubah karena bersumber dari egalitarianisme. Sedangkan Arema atau sepakbola hanya wadahnya saja."

Dan Aremania berhasil membawa ideologi itu, melalui penerimaan anggota dari berbagai suku dan daerah manapun du seluruh Indonesia, bukan terbatas orang Malang. Jadi tak mengherankan bila anggota Aremania tersebar keluar Malang seperti ke Blitar, Purwodadi, Lawang, dan berbagai kota besar di Indonesia termasuk Jakarta, bahkan di luar negri seperti Colorado, Amerika Serikat dan Jerman dengan kordinator wilayah masing-masing. Saat ini ada 150 koordinator wilayah (korwil) Aremania yang dibagi berdasarkan gang-gang kecil tempat para supporter tinggal di Malang, bukan berdasarkan batas-batas administratif yang ditetapkan pemerintah seperti rukun tetangga, rukun warga atau dusun dan desa. Aremania tergolong pelopor supporter sepakbola Indonesia yang tidak mempunyai struktur organisasi. "Ketika Orde Baru ada istilah organisasi tanpa bentuk, mungkin kami seperti itu tapi tetap terkoordinasi rapi," kata Handoko. Dengan jaringan Aremania tetap kuat dan komunikasi lancar. Mereka juga peka terhadap intrik. Salah satunya ketika pergolakan Mei 1998, Aremania keluar mengamankan kota Malang dari masuknya provokator yang ingin memicu kerusuhan kota.

Sebagai kelompok yang punya jaringan luas dan anggota besar, mereka menjadi incaran politikus. Namun Aremania sudah bersikap tegas anti politik, praktis dan tetap independen. Selain itu tanpa struktur organisasi dan pemimpin, sulit bagi para politikus mengendalikan mereka. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Jakmania, pendukung Persija Jakarta. Menurut salah satu pendirinya Ferry Indrasyrief, tawaran politik sering datang ke Jakmania, tapi selalu ditolak. "Sebab kami punya dua tabu: no politicy dan no profit. Artinya organisasi Jakmania tak boleh terlibat politik dan pengurusnya tak boleh mencari keuntungan pribadi," tegasnya.Tapi berbeda dengan bonekmania atau Deltamania yang pendukung Deltras Sidoarjo, keduanya tahun lalu terang-terangan menyatakan dukungan kepada salah satu calon kepala pemerintahan di daerahnya. "Waktu itu kami memang mendukung Bambang DH menjadi walikota surabaya. Alasannya karena ia peduli terhadap prestasi sepakbola," kata Wastomi Suheri, Ketua Yayasan Supporter Surabaya (YSS) yang juga sesepuh supporter surabaya. Alasan serupa disampaikan Deltamania, ketika tahun lalu mendukung(termasuk ikut kampanye) pemilihan Bupati Sidoarjo. Dukungan diberikan kepada pasangan Win Hendraso dan Syaiful Illah, karena Illah adalah manajer Deltras dan peduli sepakbola. "Tapi kami harus keluar dari politik, sebab independensi kelompok supporter lebih utama," kata penasihat Deltamania Wawan, yang dibenarkan ketuanya Agus Fery.

Bentrokan sering mewarnai hubungan para penggila bola ini, terutama ketika bertemu di lapangan. Aremania misalnya, pernah bentrok dengan Sakeramania pendukung Persekabpas Pasuruan, Deltamania, dan terutama bonekmania. Atau Jakmania dan Viking supporter Persib Bandung yang tak pernah akur. Menurut Joko, antara Surabaya dengan Malang terjadi perebutan identitas "arek," karena itulah mereka sulit didamaikan. Meski begitu di tingkat elit selalu diusahakan hubungan yang erat. Misalnya ketika akan tour, supporter tamu akan bertamu ke elit supporter tuan rumah terlebih dahulu. Bahkan terkadang sering terjadi penjemputan yang ramah, Jakmania dan Aremania misalnya sangat erat. Bahkan jika Aremania tour ke Jakarta, Jakmania membantu dan ikut menyumbang nasi bungkus. Demikian juga sebaliknya, Aremania akan menyambut baik Jakmania di kota Malang.

Di antara kelompok supporter itu, nama yang menghebohkan mungkin bonekmania, kelompok pendukung fanatik persebaya surabaya. Tetapi menyebut nama bonek seringkali yang muncul adalah gambaran buruk! sejarah yang dipenuhi aksi penjarahan, kekerasan, kerusuhan, dan kerusakan yang dilakukan anggotanya. Istilah bonek atau bodho nekat atau tak bermodal, sebenarnya sudah lama populer di surabaya dan awalnya berkonotasi positif. Istilah itu dipakai menggambarkan kenekatan pemuda-pemuda surabaya dalam melawan penjajah Belanda, meskipun tak punya modal senjata yang cukup. Awalnya tahun 1987, ketika sebuah harian yang terbit di surabaya mengerahkan 300 bus supporter ke Jakarta untuk mendukung persebaya tampil di final kompetisi perserikatan lawan PSIS Semarang. Ternyata persebaya kalah, sepulangnya dari pertandingan, SEBAGIAN SUPPORTER PERSEBAYA MELAKUKAN PENJARAHAN DAN PERUSAKAN di Jakarta, di tempat-tempat yang mereka lewati. "TERNYATA SEBAGIAN SUPPORTER TAK BERMODAL, mereka melakukan penjarahan dan perusakan. Sejak itu supporter persebaya terkenal dengan nama bonek," ungkap ketua Yayasan Supporter Surabaya (YSS), Wastomi Suheri. Bahkan bila persebaya tampil di rumah sendiri yakni Stadion Tambaksari Surabaya, ada saja SUPPORTER YANG MELAKUKAN PERUSAKAN ATAU PENJARAHAN TOKO DAN MEMALAK MOBIL-MOBIL YANG LEWAT. Tak aneh lagi jika persebaya main banyak toko memilih tutup.

Arum, 28 tahun, penjaga warung di Stasiun Jatinegara Jakarta, masih ingat benar ulah para bonek ini. Dia sudah 6 tahun menjadi penjaga toko kelontong di Stasiun Senen dan 4 tahun terakhir ini di Stasiun Jatinegara. Menurutnya, diberikan atau tidak, BONEK TAK AKAN MEMBAYAR APAPUN. Begitu berhenti di Stasiun, banyak bonek akan turun dan menyerbu warung-warung. Kalaupun warung tutup, MEREKA AKAN MENCUNGKIL LEMARI ROKOK ATAU MINUMAN RINGAN. "Waktu saya masih jaga warung di Stasiun Senen, saya sudah tutup semua pintu. Tapi begitu bonek meninggalkan stasiun, lemari es kami sudah pecah dan isinya ludes."Menurut Wastomi, para supporter pelaku kerusuhan itu tergolong kelompok kecil di kalangan supporter persebaya, ia menggolongkan supporter persebaya menjadi 3: bermodal dan sportif, bermodal tapi tak mau mengakui kekalahan, dan yang terakhir tak bermodal juga tak mau tahu kesebelasannya kalah atau menang yang penting bikin aksi. Parahnya, ujar Wastomi, aksi mereka mempengaruhi yang lain.Meskipun ditolak sebagian besar supporter, Wastomi mulai memperkenalkan nama baru "B Fasters" (Barisan Fanatik Suppoter Surabaya) untuk mengubah citra bonek yang terlanjur buruk. Harapannya nama ini akan mengganti bonekmania.

Munculnya kelompok supporter juga membawa pengaruh positif terhadap kehidupan sosial di kotanya masing-masing. Setidaknya, kehadiran kelompok ini mampu meredam kejahatan dan tawuran antar geng. Di Malang pada era 1970-an sampai awal 1990-an bermunculan geng-geng yang membuat wajah kota dingin itu menjadi tak ramah. Generasi remaja Malang era 80-an mungkin masih ingat nama-nama seram seperti Argom (Armada Gombal), Prem (Preman Malang), Higam (Hidup Gembira Awet Muda), RAC (Rakyat Anti Cina), Raja (Rakyat Anti Jawa), Arpol (Arek Polehan), Ancor, Inggris, Jerman, Jepang, Combat, GAS (Gabungan Anak Setan), dan ACI (Aregereg Combat Inggris). Mereka sering terlibat tawuran antargeng. Hampir setiap malam minggu terjadi tawuran yang berujung pada korban luka atau tewas. Namun begitu muncul Aremania, mereka bergabung menjadi satu identitas sebagai arek Malang dan solidaritas yang sama.Geng-geng menakutkan itu lambat laun hilang dan punah. "Ketika terikat dalam Aremania, tabu berkelahi sesama saudara," kata Syaiful, mantan anggota geng GAS. Kancil yang mantan anggota ACI tertawa mengingat masa lalunya. "Kami dulu bermusuhan dengan Syaiful, sekarang bersaudara karena Aremania."

Hal sama terjadi di jakarta, hadirnya Jakmania memengaruhi tawuran antarkampung, geng, atau sekolah. Menurut Ferry Indrasyarief, sejak adanya Jakmania masyarakat Jakarta menjadi satu. Tawuran antarpelajar yang dulu sering terjadi di hari sabtu. "Sesama Jakmania adalah saudara, salam Jakmania berbentuk ibu jari dan telunjuk yang mirip huruf J sekarang menjadi tanda persahabatan," katanya. Jakmania juga mampu membangun primordialisme baru di Jakarta. Dulu orang tak mau mendukung Persija, karena penduduk Jakarta sebagian besar pendatang. Mereka justru mendukung tim daerah asalnya ketika bertanding di Jakarta. "Kami membangun Jakmania dari 40 orang pendiri. Filosofinya Satu Jakarta Satu dan Gue Anak Jakarta. Bukan anak Betawi," kata Ferry.Selain itu, kelompok supporter ternyata membuka lapngan kerja karena atribut marak di berbagai kota. Di Malang, atribut Aremania ibarat tambang uang. Ivan Syahrul pemilik Ultras, toko atribut Aremania terbesar menuturkan, rata-rata hasil penjualan kotor atribut sebulan mencapai Rp.30 juta. Itu baru di hari biasa, jika di hari liburan atau lebaran, bisa mencapai Rp.130 juta. Ternyata sebagian pembeli adalah turis lokal dari luar kota Malang yang menjadikan atribut supporter Aremania itu sebagai oleh-oleh "khas" kota Malang. Sebagai bentuk terima kasih kepada Arema, Ivan mengaku pernah menyumbangkan kostum pertandingan atau latihan buat para pemain kesebelasan itu.

Matahari sudah menerobos semua celah ketika saya tersadar hari sudah berganti saat wawancara berakhir. Arek-arek yang juga menjuluki kesebelasannya Singo Edan ini, perlahan beringsut dari kursi masing-masing. Endik tersenyum meringis membanyangkan bakal kena damprat istrinya karena semalaman tak pulang. Handoko si empunya rumah sedang bersiap-siap untuk bekerja, Syaiful dan Syamsul akan bertemu dengan Aremania di Sama'an pagi itu. Sedangkan saya masih sempat menyeruput kopi pagi dang penganan yang di suguhkan tuan rumah. Pagi yang benar-benar hangat oleh matahari yang menguapkan sisa hujan, kopi kental, dan keramahan mereka. Saya membaca lagi tulisan One Heart yang disablon di sebelah gambar singa lambang Arema, di atas selembar kaos oblong. Saya membelinya sebelum meninggalkan Malang, untuk mengingatkan betapa supporter di negri ini ternyata bisa sangat ramah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar