Mengenang Tragedi jogja (14 januari 1999)
Yang namanya perjuangan seringkali tidak berbanding lurus dengan do'a dan harapan. Apalagi ketika perjuangan tersebut melibatkan unsur idealisme, proses perjuangan itu akan menempuh pelbagai rintangan dan waktu. Sekalipun pil pahit harus ditanggung, namun hal ini tidak akan membuat manusia segan untuk memperjuangkannya.
Seringkali idealisme itu berwujud pada sebuah cahaya yang menginterferensi pikiran manusia. Idealisme ini pula dapat mendorong seseorang untuk bersikap lebih kritis dan dinamis. Idealisme bersifat superlatif, segala refraksi dari idealisme akan mendapat sorotan hangat yang perlu diluruskan.
Idealisme nyata dalam dunia sepakbola, terlebih untuk kaum suporter. Mindset seorang suporter dinyatakan dalam bentuk dukungan kepada tim yang diimpikannya. Dukungan ini terbagi kedalam 4 bentuk menurut House (dalam Smet, 1994) :
1. Dukungan emosional, dengan menumbuhkan empati dari pihak lain
2. Dukungan penghargaan dengan memberi penghargaan yang positif, penilaian atas usaha yang dilakukan dan memberikan feedback.
3. Dukungan informatif dengan memberikan nasehat, pengarahan dan saran-saran untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi.
4. Dukungan instrumental, dengan memberikan bantuan secara nyata berupa benda, peralatan atau sarana guna untuk menunjang kebutuhan kerja.
Namun, seringkali idealisme suporter mengalami disorientasi. Hal ini tidak saja karena sifatnya yang dinamis namun juga inkonsistensi dalam hal berparadigma. Contohnya, suporter yang tadinya berjiwa revolusioner bisa menjadi feminis karena tekanan hidup akibat impitan beban globalisme, dan ekspansi dunia.
Seperti halnya Aremania, selama dua dekade lebih berdiri memang telah memberi warna baru dalam dunia sepakbola tanah air. Nyaris, tidak ada event besar yang tidak memberi ruang gerak kepada Aremania. Ibaratnya, Aremania adalah bintang utama dari sebuah teater di gelaran sepakbola Indonesia.
Ibarat sebuah pohon, semakin tinggi pohon yang dipelihara Aremania, maka semakin kencang angin bertiup. Aremania terlahir tanpa noda, namun dalam perjalanannya aral dan onak seperti kerikil-kerikil yang dilalui di jalan tak beraspal. Salah satu kerikil tersebut adalah chaos dalam sebuah pertandingan bola.
Konflik pertamakali yang melibatkan nama Aremania adalah peristiwa Kerusuhan di Stadion Mandala Krida Jogjakarta yang terjadi pada 14 Februari 1999 silam. Terlepas dari faktor eksternal penyebab kerusuhan ini yang berupa provokasi dari pihak luar, issue yang berhembus dan lain sebagainya, ada banyak hal yang dapat kita ambil hikmah dari kejadian ini. Terlebih selama 10 tahun berikutnya peristiwa tersebut terulang dengan melibatkan Aremania kedalam pihak lain.
Dalam diri setiap Aremania tertanam suatu prinsip untuk memberikan penghormatan tertinggi terhadap hasil pertandingan, bersikap fair play dan memberikan rasa nyaman kepada para tamu. Sayangnya terkadang fakta berbicara lain, segelintir manusia yang mendompleng nama Aremania memberikan kontribusi negatif terhadap Aremania sebagai pejuang anti-kekerasan di persepakbolaan Indonesia. Apalagi corak pemberitaan di media massa dan opini publik turut memberikan stigma bahwa didalam Aremania telah terjadi suatu proses brain washing yang luar biasa.
Sebuah kerusuhan memang tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada beberapa proses yang mengalami dimulai dari segala bentuk umpatan, makian hingga tindakan yang menjurus pada anarkhisme dan vandalisme berupa masuknya segala sesuatu yang tidak dikehendaki secara tiba-tiba ke arah sentelban/lapangan. Ketika konflik tersebut tereskalasi kedalam sebuah bentuk anarkhisme, seringkali sebuah kubu dihadapkan pada keadaan terombang-ambing bagaikan biduk yang terhempas badai. Seperti apabila mereka tidak mampu berpikir secara transeden, berbagai kekecewaan menumpuk di alam pikirannya.
Aremania adalah sekumpulan individu yang memiliki berbagai pola pemikiran yang berbeda. Pada umumnya pola pemikiran itu terbagi kedalam beberapa kutub yang memiliki advantages dan disadvantages serta strengths dan weaknesses dari pola kutub tersebut. Mayoritas penonton Arema yang datang ke stadion adalah Aremania dan memiliki corak pemikiran yang konservatif dan moderat. Visi mereka datang ke stadion adalah mendukung Arema. Namun tidak dipungkiri jika terdapat satu kuartil massa yang memiliki pandangan berbeda mengenai hal ini. Mereka memiliki kepentingan sosio-ekonomik negatif dengan datang ke stadion tidak sebagai suporter(baca : Aremania), para petugas keamanan atau pedagang yang menyajikan pelbagai barang ekonomis untuk ditawarkan kepada Aremania.
Bedanya ketika konflik berujung pada tingkat vandalisme, seringkali membuat kalangan Aremania yang datang ke stadion hanya untuk Arema menjadi "mati gaya" karena tidak mungkin juga memakai kekerasan sebagai media kekecewaan yang memuncak. Pendeknya, Aremania yang tulus dengan datang ke stadion sebagai suporter Arema ini dihadapkan pada dinamika sebuah ayunan. Secara presisi dan akurasi sulit untuk mengubah eskalasi kerusuhan menjadi sebuah keadaan damai.
Secara "de facto" PSSI sebagai lembaga "tertinggi" di ajang sepakbola Indonesia memiliki wewenang dan yurisdiksi melakukan tindakan (baca : hukuman) terhadap pelaku kerusuhan sepakbola Indonesia. Dalam kondisi politik acuh PSSI dapat melakukan tindakan pembiaran strategis dengan tidak mengambil jalan pandang bulu terhadap kelompok manapun, apapun bentuk motivasi di belakangnya. Namun PSSI dapat menggeser politik acuh tersebut kepada politik pengalihan dengan memberikan wacana konflik sepakbola Indonesia diatas sukses kepemimpinan di tubuh PSSI yang terus digoyang setiap saat.
Aremania bukanlah sebuah organisasi. Seperti pada sebuah organisasi, ancaman disintegrasi diakibatkan oleh kelompok-kelompok yang saling berseberangan secara diametral tetaplah nyata. Meski pribadi saya tidak berpandangan mana yang terbaik antara Aremania menajdi sebuah organisasi atau tidak, namun selama Aremania sendiri mampu menempatkan idealismenya sebagai sebuah pandangan hidup segala bujuk rayu entah ke arah ekonomis, ataupun nilai yang diadopsi oleh sebuah tatanan baru yang bersifat negatif dapat kita redam.
Kultur dan histori Aremania memungkinkan bersikap dan berprestasi lebih daripada yang ditampilkan satu dekade silam. Pastikan saja kerusuhan di Stadion Brawijaya adalah yang terakhir dari yang ditampilkan oleh sebagian Aremania, selanjutnya yang akan kita hadapi nantinya adalah periode baru untuk Aremania. Pilihannya cuma dua, kukuh pada idealisme yang kita pegang atau memberikan ruang baru untuk terciptanya paradigma baru yang berujung pada pola perilaku destruktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar