Rabu, 06 Februari 2013

Kaki-Kaki Tanpa Sepatu

Flasback Ke belakang nawak tentang Timnas Indonesia...
Rasakan,dan Tunjukkan Rasa Kebanggaanmu Yang slama ini pecah akibat Kisruh Sepakbola Indonesia yang saat ini blum menemui titik temu dan entah sam[pai kapan???/



“Selalu ada lain kali dalam hidup,” tegas Kim Sin Hwan. Malam itu ia mencoba menghibur diri yang untuk kesekian kalinya harus menerima kenyataan gagal dalam usaha memperbaiki kualitas hidupnya.


Malam itu, untuk kesekian kalinya Kim harus memahami bahwa hidupnya lebih berat dari yang ia kira, kedatangannya ke Timor Leste untuk memulai investasinya di bidang konstruksi dan kopi buyar sudah karena negeri bekas koloni Indonesia itu ternyata tidak semakmur yang ia kira.

“Nyaris tidak ada apa-apa disini, negeri ini terlalu miskin, perang saudara berkepanjangan telah merontokkan mereka,” ujar Jang seorang pegawai kedutaan besar Korea Selatan yang ‘menyelamatkannya’ dari penipuan siang itu.

Inilah awal dari pertemanan dua Korea di negeri baru yang saat itu—di tahun 2004—sedang dipimpin oleh Xanana Gusmao, pemimpin perjuangan kemerdekaan Timor. Inilah sequence awal film Barefoot Dream karya Kim Tae Gyun yang akan menjadi submisi resmi Korea Selatan di Academy Award 2011 ini.
Dua orang ini adalah karakter nyata yang ditransformasikan lewat film luar biasa dengan setting lokasi memanjang dari Dili dan Baucau di Timor Leste, Pulau Sumatra di Indonesia dan Hiroshima di Jepang. Kim adalah seorang mantan pemain Sepakbola, anggota tim junior Korea Selatan menuju Piala Asia Junior di Qatar 1984. Sempat bermain di K-League dan disebut sebagai seorang pemain muda paling berbakat di Korea saat itu.

Tapi, nasib tidak benar-benar membawanya kemana-mana, nama ini praktis hanya 2 kali dipanggil ke tim Taeguk Warrior. Seiring dengan cedera yang didapat, Kim memutuskan untuk pensiun muda dan menyiapkan karir lain yang ternyata membawanya ke negeri muda bernama Timor Leste. Dengan cara bertutur yang sangat baik dan khas film-film drama Korea lainnya, Barefoot Dream juga mampu bercerita dengan sangat lugas, tak berlebihan apalagi mendayu namun tetap mampu menyentuh selama 121 menit durasinya.

“Tapi…sebagai orang Indonesia yang tergila-gila pada Sepakbola, film ini memberi dorongan lain yang membuat saya jadi jauh lebih emosional daripada filmnya.”

Sebelas tahun lalu saat negeri itu masih menjadi bagian dari negeri ini, saya berada disana dan melihat bagaimana sulitnya hidup mereka dan betapa besarnya keinginan mereka untuk merdeka. Bangsa yang selalu berpesta dan gembira layaknya budaya Portugis yang memang tertanam sudah mengakar dalam kehidupan mereka.

“Nanti jika kami sudah merdeka, bapak bole kembali dan ikut berpesta…tapi pesta kami tentu cara Porto,” ujar Fernando, pedagang sayuran yang saya temui saat itu di pusat kota Dili.

Hari-hari itu saya menyadari bahwa mereka memang sudah diambang kemerdekaan, apalagi sebagai orang yang sebenarnya apolitis, saya sangat mendukung bangsa itu untuk bisa lepas dari penjajahan kita.
“Naskah proklamasi saja isinya menentang penjajahan, kok sekarang kita malah tahan-tahan ngejajah orang?” ujar seorang aktivis NGO kawan saya yang saat itu sibuk berada antara Dili dan Baucau. Hari itu adalah hari-hari berat bagi Indonesia yang terus ditekan sana-sini untuk segera melepaskan Timor.

Belum lagi sikap Presiden BJ Habibie yang terbilang kontroversial untuk memberi mereka kesempatan referendum bisa dibilang sebagai hal paling kontroversial di dekade itu.

Seperti Kim yang menemukan bakat-bakat Sepakbola disana, saya juga pernah merasakan bermain Sepakbola dengan remaja-remaja di negeri berpenduduk sekitar 1 juta jiwa (data dari Wikipedia 2010).
Dengan berseloroh, saya saat itu berkata pada teman orang Indonesia “Jangan-jangan pas penyisihan Piala Dunia 2018, kita udah kalah sama mereka,” Andy teman saya tertawa, begitu juga anak-anak yang baru saja berlarian dengan bola di kakinya bersama saya. “Mana mungkin kak, Indonesia terlalu kuat bagi kami.”
Timor kemudian lepas dari Indonesia secara resmi di tahun 2002, Kim Sin Hwan yang gagal berbisnis disana sini datang ke negeri itu di tahun 2004. Hanya sebentar saja, ia menemukan gairah luar biasa bermain Sepakbola di negeri yang masih terus diliputi dendam.

Insting bisnisnya mengajak dirinya untuk membuka toko olahraga yang lalu gagal total karena terlalu mahal untuk ukuran negeri dengan pendapatan per kapita 542 US Dollar ini. Merasakan hawa dan aura Sepakbola yang tinggi, sekaligus keinginan untuk melatih tim nasional, Kim memutuskan untuk secara serius melatih dan memberi wawasa Sepakbola pada anak-anak Timor.

Diatas tanah yang berdebu dan coba membuang kebiasaan bermain tanpa sepatu, Kim menggembleng bocah-bocah Timor ini untuk menjadi pemain pantang menyerah. Dengan bantuan finansial dari negerinya, Kim membawa anak-anak yang semuanya bercita-cita untuk bermain di Liga Profesional di Indonesia ini ke Hiroshima, untuk sebuah kejuaraan junior Asia.

Hasilnya, mereka 6 kali berturut-turut memenangkan seluruh pertandingannya dan berhak untuk pulang bersama gelar. Saya tentu skeptis dengan gelar yang mereka raih saat itu, apalagi Kim Tae Gyun dalam filmnya ini sama sekali tidak menjelaskan sebesar apa level Rivelino Cup itu, kecuali penjelasan bahwa kejuaraan ini sudah memasuki edisi ke 6.

Tapi apa pentingnya lagi keabsahan dan keagungan turnamen tadi, jika 5 tahun kemudian di Solo, kaki-kaki lincah dari Timor itu mampu menaklukkan anak-anak Indonesia dan mendorong tim U-16 kita anjlok ke posisi juru kunci kejuaraan.

“Kami hanya makan nasi bungkus selama di pelatnas,” rengek anggota timnas U-16 seperti dilansir banyak media, atau “Gaji dan honor pelatih serta pemain terlambat!”
Well saudara-saudara sekalian, Kim Sin Hwan membentuk timnya dengan modal dengkulnya. Ia memberikan nyaris seluruh perlengkapan Sepakbolanya untuk kebutuhan tim junior negerinya Ramos Horta itu. Dengan segala kebesaran hati ia ‘mengemis’ kesana kesini agar anak-anak asuhnya bisa berangkat mengikuti kejuaraan. Ramos, Octavio, Tua dll pun berlatih di atas tanah merah berdebu, modal mereka hanya semangat!

Karena Ramos hanya hidup bersama kakaknya yang terus dipenuhi dendam kematian orang tuanya dan Tua adalah seorang bocah gelandangan. Mereka bahkan baru belajar bagaimana menggiring dan menendang bola dengan sepatu di tahun yang sama! Dengan segala keterbatasannya dan hanya bermodal makanan yang lebih brengsek dari nasi bungkus, mereka mampu pulang bersama gelar juara.

Kemudian beberapa tahun berselang anak-anak yang terus bermimpin untuk bisa bermain di Liga Profesional di Indonesia ini sanggup menaklukkan tim nasional dari negeri impian dan harapan mereka…Indonesia! (Ditulis Andibachtiar Yusuf dari Liverpool, Inggris)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar