Jika ditanya, kepada siapa kesetiaan Aremania dan media pendukungnya berpijak, bagaimana kita akan menjawab? Kepada keduabelas punggawa yang berlaga di lapangan hijau? Kepada sebuah nama besar? Kepada ‘agama kedua’ dan slogan-slogan semata? Kepada identitas sebagai arek Malang? Kepada sebuah organisasi?
Kalau boleh jujur, sebagian besar penjawab pasti akan berkata: “Kepada kesebelas orang yang berlaga di lapangan”. Bukan kepada sebuah organisasi, bukan kepada seseorang atau beberapa orang yang berkuasa di balik layar.
Selentingan tentang para atlet sepakbola adalah gladiator–gladiator modern, agaknya benar. Gladiator adalah para budak yang harus berlaga sampai mati demi hiburan rakyat, disponsori para penguasa. Tidak beda, bukan? Sama glamornya, sama mematikan dan sama politisnya
Pejuang.
Mereka tak peduli politik, mereka berprofesi mulia sebagai atlet
Sepak bola, esensinya adalah olahraga; dan seperti layaknya, semangat sportivitas dan fair play dijunjung tinggi didalamnya. Tapi apa daya? Di negeri ini, semua hal bisa disusupi intrik, dikotori kepentingan-kepentingan politis sekelompok oknum, dan mengorbankan satu bagian besar yang pada akhirnya menanggung konsekuensi terberat.
Kisruh PSSI dan usaha ‘kudeta’ serta tersendatnya gaji pemain, minimnya persiapan, adalah realita. Euforia dan cinta buta yang berujung pada impian semu tak realistis harus mulai dikaji ulang. Tidak salah, hanya perlu dikaji ulang.
Bagaimanapun, tidak ada sebuah mesin yang bisa bertahan lama pada performa puncak jika bagian–bagiannya menolak bekerja sama. Semua yang ada di dalamnya harus bergerak seirama, bersama, demi mencapai tujuan yang menjadi nilai idealnya.
Bicara tentang fakta, sudah terlalu lama posisi ketua PSSI menjadi gunjingan karena sepak terjang yang bersangkutan. Sudah terlalu lama juga ada bisik–bisik ‘tahu sama tahu’ tentang buruknya manajemen dan profesionalisme klub sepak bola di Indonesia. Sudah terlalu lama supporter yang hanya ingin menonton pertandingan bersih, jujur dan sportif menelan bulat–bulat kebohongan publik dan disetir seperti pion catur dengan mengatasnamakan ‘suara rakyat’.
Pahit dan getir memang, di kala geliat sportivitas mulai kentara, harus dikotori oleh mereka yang tak bertanggung jawab dan sayangnya duduk di piramida teratas. Menyedihkan memang, melihat pemain pujaan yang hanya ingin bertanding sebaik–baiknya harus menelan ludah pahit karena tanggungjawab mereka tak berimbas pada hak yang sepadan.
Di saat seperti ini, kesetiaan kita sedang diuji. Kepada siapa kita akan berpihak? Kepada siapa, ratusan ribu Aremania akan meletakkan kesetiaannya? Salam Satu Jiwa sudah bukan saatnya lagi menjadi sekedar celetukan tanpa makna yang ditulis di syal, kaos, ataupun sekedar komentar di setiap berita. Satu jiwa untuk apa? Kesetiaan tanpa batas kepada apa?
Satu
Suara. Mereka meneriakkan dukungan untuk 'pejuang lapangan hijau'
Jika kita semua memahami benar apa artinya ini, tak peduli siapapun kita, bukankah sekarang saatnya untuk bertindak? Bukankah sekaranglah saatnya bahwa pemain yang berlaga habis–habisan tanpa jeda itu mendapatkan apa yang layak mereka dapatkan?
Semua ini tak harus berwujud aksi demo atas nama solidaritas semata, tapi lebih dari itu. Tidak hanya sekarang, tapi juga untuk nanti dan seterusnya.
Penguasa tanpa rakyat adalah sia–sia, bukan siapa–siapa. Kekuatan massa jika digunakan secara bijak dan didasari itikad baik, pikiran jernih dan motivasi mulia sangat besar dampaknya.
Sudah saatnya, pijakan dan langkah kita ditentukan arahnya. Tidak oleh penguasa, tapi oleh kita sendiri. Salam Satu Jiwa! (Ongisnade/Intan Brahmanti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar