Minggu, 18 November 2012

Harga Untuk Sebuah Nama Besar


Siapa yang meragukan Aremania sebagai salah satu kekuatan massa yang besar pengaruhnya? Tidak ada. Banyak yang sudah melihat sendiri.. 

 Hands-Up. Aremania punya nama besar, sekaligus tanggungjawab besar

Betapa kelompok besar yang terdiri dari berbagai etnis, usia, jenis kelamin, dan lapisan sosial ini sanggup melebur menjadi satu; dan memberi pengaruh yang besar terhadap tim yang disanjungnya.
“The price of greatness is responsibility” – Winston Churchill
Tapi, seperti lazimnya keluarga, Aremania pun tak luput dari masalah. Semakin banyak kepala yang ada dibawah satu atap, semakin banyak pula konflik dan masalah. Kutipan bijak dari Winston Churchill rasanya tepat untuk ini. Tanggung jawab adalah harga untuk sebuah kemashyuran dan nama besar.

Lepas dari masalah yang ada di jajaran manajemen dan skuad Arema, Aremania juga punya masalah. Banyak kali diabaikan, banyak kali orang tutup mata dan telinga, diam–diam menyetujui atau tidak setuju sama sekali. Bagaimanapun, massa adalah satu kekuatan yang tak mungkin dilawan seorang diri atau beberapa gelintir orang yang punya opini sedikit berbeda.


Menyoal perilaku massa atau mass behavior, kita patut kembali pada siapa anggota dari massa itu sendiri. Masyarakat adalah sekelompok orang yang terdiri dari individu-individu dengan paham atau nilai yang sama. Wajar bukan? Tanpa nilai yang sama, tidak mungkin kesatuan itu ada.
Di negara ini, sepakbola adalah satu–satunya hal yang ‘masuk akal’ untuk dinikmati tanpa prejudice atau pretensi negatif. Kemelut politik, ekonomi, sosial budaya dan berbagai krisis multi dimensi yang rajin melanda menjadikan sepakbola menjadi lebih daripada sekedar olahraga ramai–ramai atau sekedar ajang peras keringat dan tontonan yang menghibur.

Sepakbola menjadi bahasa, menjadi utopia; media tempat masyarakat bebas berekspresi tanpa takut ditindak atau berhadapan dengan penguasa. Sepakbola, seperti halnya Aremania, adalah tempat masyarakat mengungkapkan emosi benci dan cintanya terhadap sesuatu; apapun itu bentuknya. Bisa kebijakan tak masuk akal, dendam kesumat yang bertahun–tahun tidak terselesaikan dengan tim lawan atau siapapun itu, dan dari sini, timbul fanatisme.

 All-Out. Fanatisme terlahir dari rasa memiliki
 
Seperti sejarah sudah bicara, fanatisme tidak ada hubungannya dengan logika. Fanatisme tidak ada hubungannya dengan kaidah berperilaku yang masuk akal. Bahkan Inggris yang menjadi tanah kelahiran sepakbola masih tetap dipusingkan dengan hooliganism sampai hari ini. Kita patut bersyukur bahwa Arema hari ini tidak sebrutal para hooligan. Kedewasaan yang cepat dicapai tanpa harus menunggu ratusan atau puluhan tahun sejarahnya.
Arema lahir di tahun 1987, kalau dihitung- hitung, masih kurang dari 30 tahun. Seorang manusia saja, butuh waktu 30 tahun untuk menjadi dewasa, baik secara fisik atau mental. Bayangkan sekian puluh ribu orang harus menjadi dewasa dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun. Tidak terlalu mudah, bukan?

Fanatisme negatif dan tindakan irasional dari fans bola, memang bukan hal yang patut disupport. Tapi hal yang patut dimengerti oleh mereka yang ada di luarnya atau mereka yang punya opini berbeda didalamnya. Hal yang patut direnungi oleh pelakunya, serta hal yang patut disenyumi oleh fans tim lawannya. Tidak ada hal negatif berbuah hal positif, inilah yang perlu dipahami oleh semuanya. Inilah kesempurnaan sepakbola.

 That is perfect. Il perfezione.

Slogan – slogan bernada miring yang dinyanyikan sepanjang pertandingan, komentar tak sedap yang dipajang di spanduk di gapura gang, atau apapun itu medianya, sebaiknya tidak dilakukan oleh Aremania. Selalu ada mata yang melihat, selalu ada telinga yang mendengar, dan selalu ada pena yang menuliskan.
 
Self perseverance (menahan diri) dan self control (kendali) diri adalah PR lain Aremania. Setelah sukses menjadi suporter paling tertib, apakah Aremania bisa menjadi penonton yang paling sopan, suportif sekaligus menghibur? Karena jika ditelaah ulang, kata ‘supporter’ berarti ‘pendukung’. Nah, apa mereka yang sedang bertanding akan merasa terdukung jika yang dikumandangkan adalah kata–kata bernada miring?

Karena dalam setiap pertandingan, bintangnya tak hanya mereka yang berlaga di lapangan, tapi juga mereka yang duduk di tribun penonton dalam kostum beraneka warna. Kalian semua adalah warna dalam olahraga. Olahraga tidak seru tanpa penonton, dan demikian juga sebaliknya.
Kita semua tentunya sungguh berharap bahwa Arema dan Aremania bisa menyajikan hiburan rakyat yang bersih, santun, layak ditonton semua khalayak sekaligus mendidik. Salam Satu Jiwa. (onn/intan brahmanty)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar