Selasa, 02 Oktober 2012

Aremania, Portrait of a Supporter


Andi Bachtiar Yusuf, sineas muda yang pernah menggarap berbagai proyek film bertema sepakbola pernah berujar kepada saya bahwa Aremania adalah salah satu kelompok suporter terbaik di dunia. Salah satu dari 5 yang terbaik menurut Arya Abhiseka yang namanya mencuat belakangan ini. Ucup(sapaan karib Andi Bachtiar Yusuf) menunjukkannya kepada dunia lewat film The Conductor yang meraih beberapa penghargaan di berbagai festival film.

Lewat The Conductor tersebut seolah menunjukkan kepada dunia bahwa Aremania memiliki fanatisme yang luar biasa. Fanatisme Aremania ibarat loyalitas tanpa batas, bagi Aremania sendiri sepakbola ibarat kegiatan religius beserta identitas yang memayunginya.
Di tataran fanatisme, Aremania terlihat jauh meninggalkan siapapun dibandingkan kelompok suporter di negara lain di sekitaran wilayah regional Indonesia. "Sesuatu yang belum pernah saya lihat dalam 30 tahun terakhir" ujar Paolo Bertolin seorang programmer asal Italia di festival Film Venice ketika berbincang dengan Ucup beberapa tahun lalu.

Di Indonesia, sepakbola adalah sebuah gairah. Di beberapa kota besar tanah air seperti Malang, Surabaya, Bandung, dan lainnya kegairahan itu ditunjukkan ketika tim dari kota tersebut berlaga. Ketika Arema ataupun Persib bertanding, jalanan di sepanjang kota menjadi lebih sepi dibandingkan biasanya. Tidak banyak orang yang berkeliaran di jalanan meskipun jadwal pertandingan dilangsungkan bersamaan dengan waktu pulang kerjanya karyawan. Sebagian besar menyibukkan diri di depan layar kaca ataupun menajamkan pendengaran sembari memilih frekuensi radio yang tepat dimana satu ataupun dua stasiun radio menyiarkan pertandingan tersebut.

Fanatisme yang ditunjukkan Aremania memang jauh melampaui dari yang dipertontonkan oleh kelompok suporter di beberapa negara ASEAN. Di Singapura, pergelaran final Singapore Cup hanya ditonton kurang dari seperlima dari rata-rata penonton pertandingan Arema di liga.
Dibanding Jepang dan Korea yang sudah maju, mereka boleh memiliki kompetisi sepakbola yang tertata secara profesional dan tontonan yang memikat. Namun menurut Ucup sendiri, untuk urusan heroisme dan fanatisme suporter, Indonesia dan Aremania-lah juaranya.

Fanatisme itu tidak terlahir dengan sendirinya. Di Indonesia fanatisme terhadap sepakbola sudah lahir sejak zaman perjuangan Indonesia dalam menghadapi penjajahan negara asing. Sepakbola adalah wadah perjuangan bangsa Indonesia, dan menjadi salah satu alat yang efektif dalam menggalang semangat nasionalisme rakyat. Di Malang sendiri fanatisme terlahir pesat dalam 3 dekade terakhir dan disatukan dalam wadah berjudul 'AREMA'. Suporternya sendiri, Aremania bersatu untuk mendukung timnya, dimanapun Arema melanglang memainkan bola.

Karena fanatisme dan kegilaan Aremania-lah yang mampu memagari Arema dari jurang kejatuhan. Fanatisme itu pula yang mampu menyokong kehidupan klub lewat beberapa pintu, tiket pertandingan yang dapat dibeli di setiap pertandingan, ide dan program untuk menghidupkan Arema hingga nilai sebuah komunitas bernama Aremania yang mampu mendatangkan magnet bagi masuknya investor maupun sponsor.

2 Dekade lalu, sederet rerimbunan pohon gaharu di pinggiran Jalan Kawi dan Semeru, Kota Malang menjadi saksi bisu perjalanan Aremania hingga sebesar sekarang. Lewat beberapa sudut tribun Stadion Gajayana fanatisme dan atraktifnya sekelompok suporter itu ditunjukkan. Mereka datang secara heterogen dengan tidak memperdulikan usia, gender hingga status sosial. Mereka datang dengan menumpang truk, mikrolet ataupun berjalan kaki sejauh beberapa kilometer dan beriringan sepanjang jalan.

Idealisme Aremania ketika itu sebagian besar cukup simpel, mereka datang sebagai suporter yang mendukung klubnya bertanding. Mereka tidak peduli jika harga karcis ekonomi yang mereka beli lebih dari cukup untuk ditukar dengan 3-4 liter beras yang mampu mencukupi kebutuhan keluarga yang terdiri dari 4 orang selama hampir seminggu. Bahkan mereka tidak peduli jika selembar tiket itu harus ditebus dengan puasa 1-2 slop rokok yang biasa mereka habiskan selama beberapa hari.
Itulah Aremania, dengan fanatisme yang luar biasa mereka tetap mampu berdiri kokoh dalam konsistensinya untuk mendukung sebuah klub. Mereka berharap pengorbanan yang mereka tunjukkan dibalas oleh sebuah prestasi setimpal oleh klubnya.

Ya, esensi sebuah suporter memang ibarat sebagai penyokong garis kehidupan klub. Seringkali mereka tidak perduli terhadap prestasi klub yang awut-awutan atau dikelola secara serampangan. Asal bisa melihat klub bertanding dengan suguhan permainan atraktifnya, itu sudah lebih dari cukup untuk memuaskan kebutuhan rohani suporter. Sebagian lagi tidak malu-malu untuk mengakui bahwa kehadiran mereka di stadion sebenarnya untuk melihat pertunjukan seni atraktif nan kreatif dari gerak lagu dan tari Aremania.

Barangkali diantara seluruh stakeholder Arema, yang paling dikenal dan dikenang Aremania adalah pemain. Dekade lalu, Pacho Rubio dan Rodrigo Araya adalah dua dari sederet pemain Arema yang dikenal luas di kalangan suporter. Pacho Rubio terkenal dengan gol dan headingnya yang memukau tatkala Arema harus bertanding di Senayan.


Rodrigo Araya sendiri menjadi salah satu legenda dalam deretan playmaker Arema yang terkenal dengan kemampuan tendangan bebas dan passingnya. Tatkala Rodrigo Araya pindah ke Persijatim yang bermarkas di Stadion Bea Cukai Rawamangun sekitar 11 tahun lalu, banyak suporter yang menyesalinya. Di masa sekarang mungkin Esteban Guillen yang 'layak' menjadi pesaingnya.
Aremania memang tidak memiliki payung organisasi yang jelas, otomatis tidak ada pula susunan kepengurusan didalamnya. Jika ada yang menanyakan bagaimana sebuah komunitas suporter tanpa Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) bisa berjalan dalam rentan waktu yang lama, maka Aremania-lah jawabannya. Dengan segala keterbatasannya tersebut, mereka mampu mengkonversinya sebagai kelebihan.

Sebelum terbentuknya Aremania, seringkali di media televisi dipertontonkan perilaku arogansi sekelompok suporter ketika mendukung timnya berlaga. Namun anggapan itu perlahan dikikis dengan kehadiran Aremania. Aremania seolah menyulap arogansi itu dengan menjadi suri tauladan suporter lainnya dengan menebarkan virus damai serta menjadi inspirasi bagi kelompok suporter lainnya.


Suatu hal yang menarik dan kemudian mengangkasa setelah konflik Arema berakhir nantinya adalah kembali munculnya pertanyaan klasik. Bagaimana dan dengan cara apa kisah manis Aremania ini akan dibangkitkan kembali? Kapan peristiwa itu terulang menjadi kisah misterius. Hanya saja siapapun yang berani dengan kepala tegak mampu menegakkan panji Aremania sebagai pendukung kesebelasan Singo Edan, maka ia berkesempatan mengulang kenangan manis Aremania sebagai sebuah potret suporter yang dikemas hebat dalam balutan kreatifitas dan fanatisme. (Oke Sukoraharjo)
*Artikel ini pernah dimuat di website www.satubola.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar