Rabu, 12 September 2012

3 Transfer Pemain Arema yang Menghebohkan

Wearemania.net - Di sepakbola Indonesia, kegiatan transfer pemain baik ketika pra ataupun pertengahan musim sangat jarang dilakukan. Padahal dalam industri sepakbola di negara Eropa (termasuk Jepang yang memiliki liga sepakbola terbaik di Asia) arus transfer pemain menjadi salah satu andalan pendapatan klub



Cerita Saga Transfer Arema Bagian I
Transfer pemain dipandang tidak lagi sekedar prestise dan upaya klub untuk memburu pemain bertalenta yang membantunya meraih prestasi. Sejalan dengan itu, bagi klub-klub yang ditinggalkan pemainnya dapat mengambil keuntungan berlipat dari transfer pemain yang menghasilkan dana jutaan euro.
Hal ini terjadi ketika kontrak sang pemain masih menyisakan lebih dari 6 bulan sisa kontraknya bersama klub. Jika kurang dari masa itu, maka pemain bebas untuk bernegosiasi dengan klub manapun dan mengikat perjanjian pra kontrak.
Bagi klub yang sukses mendapatkan pemain tersebut akan diuntungkan dengan minimnya pengeluaran yang dibebankan kepada klub untuk menggaet sang pemain. Sedangkan bagi klub asal tinggallah kerugian yang ditanggung karena tidak mendapatkan sepeserpun dari keuntungan komersial hasil penjualan sang pemain.
Untuk mensiasati hal tersebut klub biasanya menawarkan perpanjangan kontrak bagi pemain(bilamana sang pemain masuk dalam skema permainan alias masih dibutuhkan) atau menjualnya jauh-jauh hari sebelum masa kontrak sang pemain tinggal menyisakan waktu 6 bulan.
Contoh terakbar ketika Robin Van Persie digaet dengan harga 24juta poundsterling dari Arsenal ke Manchester United meski hanya menyisakan durasi kontrak setahun saja. Harga tersebut bisa jadi mahal jika mengingat durasi kontrak dan nilai kontrak lama Van Persie dengan Arsenal sebelumnya, meski bisa berarti sebaliknya jika melihat benefot yang akan diterima oleh Manchester United nantinya.
Harga Van Persie juga dapat membengkak tinggi jika ia berhasil melakukan perpanjangan kontrak dengan Arsenal. Dengan demikian nilai pasar Van Persie akan naik dan bagi klub yang ingin menebusnya pada saat ini harus mengeluarkan dana lebih dari yang diajukan oleh Manchester United kepada Arsenal.
Mengingat keuntungan yang diperoleh dari mekanisme transfer pemain ini maka tidaklah heran jika kegiatan ini sangat diandalkan bagi sebagian klub. Terutama bagi mereka yang terbiasa mencetak pemain dan kemudian menjualnya untuk mendapatkan selisih keuntungan yang sangat tinggi. Selisih keuntungan ini dapat dinikmati oleh beberapa pihak selain dari klub yang menerima pembayaran uang transfer tersebut.
Misal, Manchester City membayar 32 juta euro kepada VFL Wolfsburg untuk menggaet Edin Dzeko, harus membayar sebesar 1,12juta euro kepada Zeljeznicar, mantan klub Edin Dzeko ketika menjalani kontrak profesional pertama kali. Aturan ini disebut sebagai solidarity contribution. Hal yang sama juga terjadi dengan pemain lainnya, misal ketika Bayern Muenchen harus membayar 500ribu euro kepada Groningen setelah mentransfer Arjen Robben dari klub lamanya, Real Madrid.
Di Indonesia aturan ini sebenarnya ada dan telah dibakukan bertahun-tahun lalu, meski dengan penerapan dan kadar yang berbeda dibandingkan yang ada di Eropa. Jika seorang pemain ditransfer dari klub lamanya, maka uang transfer tersebut akan dibagikan kepada klub asal pemain (prosentase terbesar), kemudian fee/komisi kepada pemain dari nilai transfer tersebut dan sisanya terbagi kepada PSSI dari tingkatan Cabang hingga setelahnya untuk tujuan pembinaan.
Di Indonesia aktivitas bursa transfer sebenarnya memang ada meski masih minim kuantitasnya. Tercatat Widodo Cahyono Putro pernah menggemparkan penikmat sepakbola Indonesia ketika ditransfer dari Petrokimia Putra ke Persija dengan banderol 200juta rupiah. Pun demikian pula dengan Ansyari Lubis yang pindah dari Medan Jaya ke Pelita Jaya pada Galatama 1993/1994 dengan harga 10juta rupiah. Jumlah yang sangat tinggi kala itu. Barangkali pula kasus transfer '100 rupiah' Indriyanto Nugroho dari Arseto Solo ke Pelita Jaya pada tahun 1996 yang menjadi citra buruk alur transfer sepakbola Indonesia yang rumit kala itu.
Banyak penyebab alur transfer pemain di Liga Indonesia minim kuantitas dan publikasinya. Selain kekurang terbukaan klub, juga faktor nonteknis yang sempat melanda ketika tidak sinkronnya antara cita-cita untuk mendirikan sepakbola profesional kala penggabungan dua kompetisi Galatama dan Perserikatan dengan realita di lapangan. Terutama ketika aturan Bosman belum diperkenalkan dan dijalankan di sepakbola Indonesia.
Betapa banyak klub kala itu merasa kesulitan ketika hendak melakukan rekrutmen pemain yang bebas kontrak dari klub asalnya. Terkadang klub masih dibebani oleh biaya pembinaan(terutama bagi pemain yang berasal dari eks klub Perserikatan dan memiliki klub anggota didalamnya) ataupun 'uang keluar' untuk memudahkan proses keluarnya surat keluar pemain. Hal ini juga diperparah dari ketidaktegasan PSSI sebagai operator kompetisi kala itu(kala itu PT Liga Indonesia belum muncul) sehingga banyak kasus yang terjadi dalam alur transfer pemain sepakbola Indonesia.
Kasus lain yang terjadi adalah di Indonesia adalah ketika 'mengakali' aturan transfer pemain ketika melihat peluang menggaet pemain dengan biaya minim. Hal ini terjadi pada kepindahan beberapa pemain yang tidak terpdnuhi hak-haknya selama memperkuat klub asal selama beberapa bulan. Pasal 'gaji yang tak terbayar minimal 3 bulan' menjadi pengikat transfer pemain secara cuma-cuma. Namun, cara ini seringkali merugikan bagi si pemain jikalau selepas keluar dari klub hak-hak yang terhutang masih juga belum terbayar.
Meski begitu, tidak menutup pula masih terdapat klub-klub yang menjalankan etika profesionalisme terutama ketika merekrut pemain yang belum habis masa kontraknya. Selain Widodo C. Putro dan Ansyari Lubis, di Arema kita dapat menyaksikan beberapa proses transfer pemain yang sempat dipublikasikan ldwat media massa. Seluruh proses transfer tersebut legal menurut aturan dan manual baku kompetisi Liga Indonesia, diantaranya :

1. Aji santoso



Wearemania.net - Salah satu wonderkid yang ada di Arema. Aji merupakan pemain asli Malang yang meniti karir dari bawah, tepatnya lewat AMS Kepanjen dan Gajayana, anggota klub internal Pengcab PSSI Malang. Ia adalah salah satu dari sekian pemain angkatan pertama skuad Arema musim 1987/1988.
Setelah 8 tahun bersama Arema dengan mempersembahkan gelar Galatama 1992/1993, Aji mengakhiri kiprahnya bersama Arema di usia 25 tahun selepas menjalani Liga Indonesia I 1994/1995. Kepindahan Aji Santoso sempat mengundang kontroversi kala itu, meski kabarnya diganjar dengan kompensasi senilai 50juta rupiah kepada klub lamanya, kepindahan Aji Santoso ke Persebaya yang menjadi rival klub Singo Edan(Julukan Arema) menuai protes dari penggemarnya.
Tidak tercatat berapa kali Aji Santoso harus menerima complain dari suporter Arema. Maklum, 8 musim memperkuat Arema sejak berdirinya Singo Edan membuat nama Aji Santoso melekat dibenak penggemarnya. Apalagi selain sukses menghadirkan gelar Galatama 1992/1993 dan Runner Up Piala Liga 1992, Aji Santoso juga sukses bersama Timnas Indonesia yang merengkuh medali emas SEA Games 1991 Manila.
Pada akhirnya proses kepindahan Aji Santoso ke klub berjuluk Bajul Ijo tetap berlangsung dan ia memperkuat klub tersebut selama 4 musim. Ia sukses mempersembahkan Juara Liga Indonesia III 1996/1997 dan Runner Up Liga Indonesia V 1999.
Selama memperkuat Persebaya tidak terhitung cercaaan dan caci maki yang teralamatkan kepada dirinya ketika Persebaya harus menjalani pertandingan derby Jawa Timur ke Malang. Di Stadion nama Aji Santoso dianggap sebagai Judas-nya Arema karena menyakiti sekian ribu penggemar Arema Malang. Dari 4 musimnya bersama Persebaya, tercatat Persebaya hanya 2kali saja bertandang ke Stadion Gajayana Malang, markas tim Arema kala itu. Yakni musim 1995-1996 dan 1996-1997, selebihnya Persebaya tidak sekalipun bertandang ke Malang karena kompetisi dihentikan(tahun 1998) dan beda group(tahun 1999).
Berselang hampir 7 tahun setelah kepindahannya ke Persebaya, Aji Santoso balik kucing ke Arema pada tahun 2002 dan mengakhiri pengabdiannya sebagai pemain di klub yang sama pada pertengahan musim Divisi I Liga Indonesia 2004.

2. Ahmad Junaedi


Wearemania.net - Ahmad Junaidi merupakan top skorer Arema dengan 15 gol, dan sukses mengantarkan Arema ke Babak 8 Besar Divisi Utama Liga Indonesia 2001 di Makassar. Ia merupakan pemain yang memiliki keistimewaan dalam duel udara seperti yang pernah ditunjukkan oleh Pacho Rubio semusim sebelumnya di Arema. Salah satu yang istimewa adalah gol heading ke gawang Persebaya di Stadion Gajayana pada menit ke 75(7 Juli 2001) membuat peluang Arema menapak babak 8 besar menjadi terbuka. Gol tersebut merupakan satu-satunya gol dalam pertandingan itu dan disambut sekitar 20ribu Aremania yang memadati stadion.
Dengan potensi dan haus golnya tersebut tak salah jika manajemen Arema kala itu memberikan perpanjangan kontrak selama semusim lagi kepadanya. Awalnya Ahmad Junaidi dikontrak hingga akhir musim kompetisi Liga Indonesia VII, namun dengan perpanjangan kontrak tersebut ia akan berada di Arema hingga akhir musim kompetisi setahun berikutnya.
Sayangnya, selepas musim kompetisi tahun 2001 yang berujung pada kegagalan Arema di Babak 8 Besar Liga Indonesia datang tawaran dari Persebaya untuk meminang Ahmad Junaidi. Bak gayung bersambut, tawaran kenaikan nilai kontrak dari semestinya ia dapat bersama Arema di musim depan diamini olehnya. Tabloid BOLA sempat menyebut nilai transfer kala itu berkisar 125-175juta rupiah. Meski tidak memecahkan rekor transfer yang sempat dibukukan oleh Widodo Cahyono Putro, namun jumlah yang didapat Arema merupakan salah satu rekor transfer tertinggi.
Di Persebaya, Ahmad Junaidi tidak bertahan lama. Ia hanya bertahan semusim dalam kondisi status tim yang compang camping akibat beberapa masalah yang mendera klub berjuluk Bajul Ijo tersebut. Ketika pramusim, Persebaya ditinggalkan pelatih utamanya dan digantikan oleh Alm. Rusdy Bahalwan yang ditemani Subodro. Sayangnya, Ahmad Junaidi tidak masuk dalam skema permainan Rusdy Bahalwan sehingga potensinya tidak tergarap secara maksimal.
Apalagi pada saat itu Persebaya terkena kasus akibat pemogokan tim selepas melawan PKT di Bontang yang berujung pada sanksi WO dan sanksi kepada salah satu pengurus terasnya, Alm H. Santo selama 10 tahun(akhirnya mendapat remisi dari Ketua Umum PSSI - Nurdin Halid dan menjadi Ketua Harian Persebaya pada tahun 2004-2005, sebelum akhirnya terlibat kasus bersama timnya tatkala menjalani 8 Besar Liga Indonesia 2005 di Jakarta).
Selain Ahmad Junaidi, Persebaya juga mengikat Bambang Harsoyo dari Barito Putra. Yang menarik, Bambang Harsoyo ini pula sebelumnya digosipkan berlabuh ke Arema, bersama dengan sederet gosip transfer pemain lainnya seperti Seto Nurdiyantoro dan Eko Purjianto dari Pelita Solo. Banderol yang melebihi pagu anggaran akhirnya memupus harapan Arema untuk mengikatnya.
Selepas bermain bersama Persebaya, Ahmad Junaidi tidak pernah bermain lagi bersama Arema. Ia pernah bermain bersama Persipro Probolinggo dan Persema Malang. Bersama Persema ia sukses mengantarkan klub berjuluk Bledek Biru(akhirnya berganti julukan menjadi Titisan Ken Arok kala Jabatan Ketua Umum Persema dipegang oleh Peni Suparto - Walikota Malang sejak tahun 2003) ke babak 6 Besar Divisi I Liga Indonesia 2004 meski akhirnya kalah bersaing dengan rival sekotanya, Arema dan Persibom dari Bolang Mongondow.

3.Johan Prasetyo dan Suswanto

 
Wearemania.net - Digaet Arema dari Diklat Salatiga, Johan Prasetyo dan Suswanto langsung tune in di musim pertamanya bersama Arema. Jika Suswanto menjadi pilar lini tengah Arema bersama Nanang Supriadi/Jaime Rojas dan Setyo Budiarto maka Johan Prasetyo adalah nyawa Arema di lini depan.
Karir Johan Prasetyo moncer ketika Marcus Rodriguez, yang sedianya menjadi tumpuan Arema di lini depan mengalami berbagai masalah. Akhirnya dibawah besutan Daniel Rukito pelatih Arema kala itu, Johan Prasetyo ditempatkan sebagai ujung tombak sendirian dengan formasi 3-6-1. Total 14 gol dicetak oleh Johan Prasetyo dan membawa Arema ke babak 8 besar Liga Indonesia VIII di Gresik.
Sebagai pemain muda yang memiliki potensi bagus, kontrak Johan Prasetyo dan Suswanto diperpanjang dari 1 musim menjadi 3 musim. Sedianya kontrak mereka habis selepas Liga Indonesia X tahun 2004. Namun, akibat kesulitan keuangan yang mendera klub kebanggaan Aremania ini, Johan Prasetyo dan Suswanto dilego ke Persik sekitar 100juta rupiah bersama sederet eks pemain Arema kala itu seperti Khusnul Yuli, Aris Susanto, dan Wawan Widiantoro bersama manager tim Arema sebelumnya, Iwan Budianto yang mengikuti mertuanya H.M. Maschut yang menjadi walikota Kediri.
Segera saja kepindahan Johan Prasetyo dan Suswanto lagi-lagi menuai pro kontra di kalangan suporter. Posisi keduanya yang menjadi idola baru di kalangan suporter sangat disayangkan oleh Aremania. Sebagian Aremania sudah terlanjur kesengsem akan torehan prestasi dan kiprahnya bersama Arema. Belum lagi proses pencarian pemain baru yang setara atau yang memiliki skill dari keduanya akan terasa sulit, mengingat keduanya adalah pemain potensial dan sempat membela Timnas U-19/U-20 bersama kompatriotnya, Hermawan.
Karir Johan dan Suswanto di Persik awalnya mulus. Gelar juara Liga Indonesia IX sempat mereka rasakan tepat setahun sesudah hijrah dari Arema. Namun, akibat persaingan di tim dan deraan cedera potensi keduanya seakan luntur. Johan Prasetyo dan Suswanto yang sempat bermain bersama Timnas U-23 namanya hampir tidak terdengar lagi sekarang ini.
Khusus untuk Johan Prasetyo, selepas membela Arema tidak sekalipun ia mengulangi lagi kisah suksesnya bersama Arema, masuk dalam jajaran 6 besar pencetak gol terbanyak selama semusim


Tidak ada komentar:

Posting Komentar