Cerita
Saga Transfer Arema Bagian I
Transfer pemain dipandang tidak lagi
sekedar prestise dan upaya klub untuk memburu pemain bertalenta yang
membantunya meraih prestasi. Sejalan dengan itu, bagi klub-klub yang
ditinggalkan pemainnya dapat mengambil keuntungan berlipat dari transfer pemain
yang menghasilkan dana jutaan euro.
Hal ini terjadi ketika kontrak sang
pemain masih menyisakan lebih dari 6 bulan sisa kontraknya bersama klub. Jika
kurang dari masa itu, maka pemain bebas untuk bernegosiasi dengan klub manapun
dan mengikat perjanjian pra kontrak.
Bagi klub yang sukses mendapatkan
pemain tersebut akan diuntungkan dengan minimnya pengeluaran yang dibebankan
kepada klub untuk menggaet sang pemain. Sedangkan bagi klub asal tinggallah
kerugian yang ditanggung karena tidak mendapatkan sepeserpun dari keuntungan
komersial hasil penjualan sang pemain.
Untuk mensiasati hal tersebut klub
biasanya menawarkan perpanjangan kontrak bagi pemain(bilamana sang pemain masuk
dalam skema permainan alias masih dibutuhkan) atau menjualnya jauh-jauh hari
sebelum masa kontrak sang pemain tinggal menyisakan waktu 6 bulan.
Contoh terakbar ketika Robin Van
Persie digaet dengan harga 24juta poundsterling dari Arsenal ke Manchester
United meski hanya menyisakan durasi kontrak setahun saja. Harga tersebut bisa
jadi mahal jika mengingat durasi kontrak dan nilai kontrak lama Van Persie
dengan Arsenal sebelumnya, meski bisa berarti sebaliknya jika melihat benefot
yang akan diterima oleh Manchester United nantinya.
Harga Van Persie juga dapat
membengkak tinggi jika ia berhasil melakukan perpanjangan kontrak dengan
Arsenal. Dengan demikian nilai pasar Van Persie akan naik dan bagi klub yang
ingin menebusnya pada saat ini harus mengeluarkan dana lebih dari yang diajukan
oleh Manchester United kepada Arsenal.
Mengingat keuntungan yang diperoleh
dari mekanisme transfer pemain ini maka tidaklah heran jika kegiatan ini sangat
diandalkan bagi sebagian klub. Terutama bagi mereka yang terbiasa mencetak
pemain dan kemudian menjualnya untuk mendapatkan selisih keuntungan yang sangat
tinggi. Selisih keuntungan ini dapat dinikmati oleh beberapa pihak selain dari
klub yang menerima pembayaran uang transfer tersebut.
Misal, Manchester City membayar 32
juta euro kepada VFL Wolfsburg untuk menggaet Edin Dzeko, harus membayar
sebesar 1,12juta euro kepada Zeljeznicar, mantan klub Edin Dzeko ketika
menjalani kontrak profesional pertama kali. Aturan ini disebut sebagai
solidarity contribution. Hal yang sama juga terjadi dengan pemain lainnya,
misal ketika Bayern Muenchen harus membayar 500ribu euro kepada Groningen
setelah mentransfer Arjen Robben dari klub lamanya, Real Madrid.
Di Indonesia aturan ini sebenarnya
ada dan telah dibakukan bertahun-tahun lalu, meski dengan penerapan dan kadar
yang berbeda dibandingkan yang ada di Eropa. Jika seorang pemain ditransfer
dari klub lamanya, maka uang transfer tersebut akan dibagikan kepada klub asal
pemain (prosentase terbesar), kemudian fee/komisi kepada pemain dari nilai
transfer tersebut dan sisanya terbagi kepada PSSI dari tingkatan Cabang hingga
setelahnya untuk tujuan pembinaan.
Di Indonesia aktivitas bursa
transfer sebenarnya memang ada meski masih minim kuantitasnya. Tercatat Widodo
Cahyono Putro pernah menggemparkan penikmat sepakbola Indonesia ketika
ditransfer dari Petrokimia Putra ke Persija dengan banderol 200juta rupiah. Pun
demikian pula dengan Ansyari Lubis yang pindah dari Medan Jaya ke Pelita Jaya
pada Galatama 1993/1994 dengan harga 10juta rupiah. Jumlah yang sangat tinggi
kala itu. Barangkali pula kasus transfer '100 rupiah' Indriyanto Nugroho dari
Arseto Solo ke Pelita Jaya pada tahun 1996 yang menjadi citra buruk alur
transfer sepakbola Indonesia yang rumit kala itu.
Banyak penyebab alur transfer pemain
di Liga Indonesia minim kuantitas dan publikasinya. Selain kekurang terbukaan
klub, juga faktor nonteknis yang sempat melanda ketika tidak sinkronnya antara
cita-cita untuk mendirikan sepakbola profesional kala penggabungan dua
kompetisi Galatama dan Perserikatan dengan realita di lapangan. Terutama ketika
aturan Bosman belum diperkenalkan dan dijalankan di sepakbola Indonesia.
Betapa banyak klub kala itu merasa
kesulitan ketika hendak melakukan rekrutmen pemain yang bebas kontrak dari klub
asalnya. Terkadang klub masih dibebani oleh biaya pembinaan(terutama bagi
pemain yang berasal dari eks klub Perserikatan dan memiliki klub anggota
didalamnya) ataupun 'uang keluar' untuk memudahkan proses keluarnya surat
keluar pemain. Hal ini juga diperparah dari ketidaktegasan PSSI sebagai
operator kompetisi kala itu(kala itu PT Liga Indonesia belum muncul) sehingga
banyak kasus yang terjadi dalam alur transfer pemain sepakbola Indonesia.
Kasus lain yang terjadi adalah di
Indonesia adalah ketika 'mengakali' aturan transfer pemain ketika melihat
peluang menggaet pemain dengan biaya minim. Hal ini terjadi pada kepindahan
beberapa pemain yang tidak terpdnuhi hak-haknya selama memperkuat klub asal
selama beberapa bulan. Pasal 'gaji yang tak terbayar minimal 3 bulan' menjadi
pengikat transfer pemain secara cuma-cuma. Namun, cara ini seringkali merugikan
bagi si pemain jikalau selepas keluar dari klub hak-hak yang terhutang masih
juga belum terbayar.
Meski begitu, tidak menutup pula
masih terdapat klub-klub yang menjalankan etika profesionalisme terutama ketika
merekrut pemain yang belum habis masa kontraknya. Selain Widodo C. Putro dan
Ansyari Lubis, di Arema kita dapat menyaksikan beberapa proses transfer pemain
yang sempat dipublikasikan ldwat media massa. Seluruh proses transfer tersebut
legal menurut aturan dan manual baku kompetisi Liga Indonesia, diantaranya :
Wearemania.net - Salah satu wonderkid yang ada di Arema. Aji merupakan pemain
asli Malang yang meniti karir dari bawah, tepatnya lewat AMS Kepanjen dan
Gajayana, anggota klub internal Pengcab PSSI Malang. Ia adalah salah satu dari
sekian pemain angkatan pertama skuad Arema musim 1987/1988.
Setelah 8 tahun bersama Arema dengan
mempersembahkan gelar Galatama 1992/1993, Aji mengakhiri kiprahnya bersama
Arema di usia 25 tahun selepas menjalani Liga Indonesia I 1994/1995. Kepindahan
Aji Santoso sempat mengundang kontroversi kala itu, meski kabarnya diganjar
dengan kompensasi senilai 50juta rupiah kepada klub lamanya, kepindahan Aji
Santoso ke Persebaya yang menjadi rival klub Singo Edan(Julukan Arema) menuai
protes dari penggemarnya.
Tidak tercatat berapa kali Aji
Santoso harus menerima complain dari suporter Arema. Maklum, 8 musim memperkuat
Arema sejak berdirinya Singo Edan membuat nama Aji Santoso melekat dibenak
penggemarnya. Apalagi selain sukses menghadirkan gelar Galatama 1992/1993 dan
Runner Up Piala Liga 1992, Aji Santoso juga sukses bersama Timnas Indonesia
yang merengkuh medali emas SEA Games 1991 Manila.
Pada akhirnya proses kepindahan Aji
Santoso ke klub berjuluk Bajul Ijo tetap berlangsung dan ia memperkuat klub
tersebut selama 4 musim. Ia sukses mempersembahkan Juara Liga Indonesia III
1996/1997 dan Runner Up Liga Indonesia V 1999.
Selama memperkuat Persebaya tidak
terhitung cercaaan dan caci maki yang teralamatkan kepada dirinya ketika
Persebaya harus menjalani pertandingan derby Jawa Timur ke Malang. Di Stadion
nama Aji Santoso dianggap sebagai Judas-nya Arema karena menyakiti sekian ribu
penggemar Arema Malang. Dari 4 musimnya bersama Persebaya, tercatat Persebaya
hanya 2kali saja bertandang ke Stadion Gajayana Malang, markas tim Arema kala
itu. Yakni musim 1995-1996 dan 1996-1997, selebihnya Persebaya tidak sekalipun
bertandang ke Malang karena kompetisi dihentikan(tahun 1998) dan beda
group(tahun 1999).
Berselang hampir 7 tahun setelah
kepindahannya ke Persebaya, Aji Santoso balik kucing ke Arema pada tahun 2002
dan mengakhiri pengabdiannya sebagai pemain di klub yang sama pada pertengahan
musim Divisi I Liga Indonesia 2004.
2. Ahmad Junaedi
Wearemania.net - Ahmad Junaidi merupakan top skorer Arema dengan 15 gol, dan
sukses mengantarkan Arema ke Babak 8 Besar Divisi Utama Liga Indonesia 2001 di
Makassar. Ia merupakan pemain yang memiliki keistimewaan dalam duel udara
seperti yang pernah ditunjukkan oleh Pacho Rubio semusim sebelumnya di Arema.
Salah satu yang istimewa adalah gol heading ke gawang Persebaya di Stadion
Gajayana pada menit ke 75(7 Juli 2001) membuat peluang Arema menapak babak 8
besar menjadi terbuka. Gol tersebut merupakan satu-satunya gol dalam
pertandingan itu dan disambut sekitar 20ribu Aremania yang memadati stadion.
Dengan potensi dan haus golnya
tersebut tak salah jika manajemen Arema kala itu memberikan perpanjangan
kontrak selama semusim lagi kepadanya. Awalnya Ahmad Junaidi dikontrak hingga
akhir musim kompetisi Liga Indonesia VII, namun dengan perpanjangan kontrak
tersebut ia akan berada di Arema hingga akhir musim kompetisi setahun
berikutnya.
Sayangnya, selepas musim kompetisi
tahun 2001 yang berujung pada kegagalan Arema di Babak 8 Besar Liga Indonesia
datang tawaran dari Persebaya untuk meminang Ahmad Junaidi. Bak gayung
bersambut, tawaran kenaikan nilai kontrak dari semestinya ia dapat bersama
Arema di musim depan diamini olehnya. Tabloid BOLA sempat menyebut nilai
transfer kala itu berkisar 125-175juta rupiah. Meski tidak memecahkan rekor
transfer yang sempat dibukukan oleh Widodo Cahyono Putro, namun jumlah yang
didapat Arema merupakan salah satu rekor transfer tertinggi.
Di Persebaya, Ahmad Junaidi tidak
bertahan lama. Ia hanya bertahan semusim dalam kondisi status tim yang compang
camping akibat beberapa masalah yang mendera klub berjuluk Bajul Ijo tersebut.
Ketika pramusim, Persebaya ditinggalkan pelatih utamanya dan digantikan oleh
Alm. Rusdy Bahalwan yang ditemani Subodro. Sayangnya, Ahmad Junaidi tidak masuk
dalam skema permainan Rusdy Bahalwan sehingga potensinya tidak tergarap secara
maksimal.
Apalagi pada saat itu Persebaya
terkena kasus akibat pemogokan tim selepas melawan PKT di Bontang yang berujung
pada sanksi WO dan sanksi kepada salah satu pengurus terasnya, Alm H. Santo
selama 10 tahun(akhirnya mendapat remisi dari Ketua Umum PSSI - Nurdin Halid
dan menjadi Ketua Harian Persebaya pada tahun 2004-2005, sebelum akhirnya
terlibat kasus bersama timnya tatkala menjalani 8 Besar Liga Indonesia 2005 di
Jakarta).
Selain Ahmad Junaidi, Persebaya juga
mengikat Bambang Harsoyo dari Barito Putra. Yang menarik, Bambang Harsoyo ini
pula sebelumnya digosipkan berlabuh ke Arema, bersama dengan sederet gosip
transfer pemain lainnya seperti Seto Nurdiyantoro dan Eko Purjianto dari Pelita
Solo. Banderol yang melebihi pagu anggaran akhirnya memupus harapan Arema untuk
mengikatnya.
Selepas bermain bersama Persebaya,
Ahmad Junaidi tidak pernah bermain lagi bersama Arema. Ia pernah bermain
bersama Persipro Probolinggo dan Persema Malang. Bersama Persema ia sukses
mengantarkan klub berjuluk Bledek Biru(akhirnya berganti julukan menjadi
Titisan Ken Arok kala Jabatan Ketua Umum Persema dipegang oleh Peni Suparto -
Walikota Malang sejak tahun 2003) ke babak 6 Besar Divisi I Liga Indonesia 2004
meski akhirnya kalah bersaing dengan rival sekotanya, Arema dan Persibom dari
Bolang Mongondow.
3.Johan Prasetyo dan Suswanto
Wearemania.net - Digaet Arema dari Diklat Salatiga, Johan Prasetyo dan
Suswanto langsung tune in di musim pertamanya bersama Arema. Jika Suswanto
menjadi pilar lini tengah Arema bersama Nanang Supriadi/Jaime Rojas dan Setyo
Budiarto maka Johan Prasetyo adalah nyawa Arema di lini depan.
Karir Johan Prasetyo moncer ketika
Marcus Rodriguez, yang sedianya menjadi tumpuan Arema di lini depan mengalami
berbagai masalah. Akhirnya dibawah besutan Daniel Rukito pelatih Arema kala
itu, Johan Prasetyo ditempatkan sebagai ujung tombak sendirian dengan formasi
3-6-1. Total 14 gol dicetak oleh Johan Prasetyo dan membawa Arema ke babak 8
besar Liga Indonesia VIII di Gresik.
Sebagai pemain muda yang memiliki
potensi bagus, kontrak Johan Prasetyo dan Suswanto diperpanjang dari 1 musim
menjadi 3 musim. Sedianya kontrak mereka habis selepas Liga Indonesia X tahun
2004. Namun, akibat kesulitan keuangan yang mendera klub kebanggaan Aremania
ini, Johan Prasetyo dan Suswanto dilego ke Persik sekitar 100juta rupiah
bersama sederet eks pemain Arema kala itu seperti Khusnul Yuli, Aris Susanto,
dan Wawan Widiantoro bersama manager tim Arema sebelumnya, Iwan Budianto yang
mengikuti mertuanya H.M. Maschut yang menjadi walikota Kediri.
Segera saja kepindahan Johan
Prasetyo dan Suswanto lagi-lagi menuai pro kontra di kalangan suporter. Posisi
keduanya yang menjadi idola baru di kalangan suporter sangat disayangkan oleh
Aremania. Sebagian Aremania sudah terlanjur kesengsem akan torehan prestasi dan
kiprahnya bersama Arema. Belum lagi proses pencarian pemain baru yang setara
atau yang memiliki skill dari keduanya akan terasa sulit, mengingat keduanya
adalah pemain potensial dan sempat membela Timnas U-19/U-20 bersama
kompatriotnya, Hermawan.
Karir Johan dan Suswanto di Persik
awalnya mulus. Gelar juara Liga Indonesia IX sempat mereka rasakan tepat
setahun sesudah hijrah dari Arema. Namun, akibat persaingan di tim dan deraan
cedera potensi keduanya seakan luntur. Johan Prasetyo dan Suswanto yang sempat
bermain bersama Timnas U-23 namanya hampir tidak terdengar lagi sekarang ini.
Khusus untuk Johan Prasetyo, selepas
membela Arema tidak sekalipun ia mengulangi lagi kisah suksesnya bersama Arema,
masuk dalam jajaran 6 besar pencetak gol terbanyak selama semusim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar