Sekarang ini harga tiket ekonomi pertandingan Arema
yang sebesar 25 ribu - 30 ribu rupiah dianggap masuk kategori mahal.
Untuk ukuran kota sebesar Malang dengan UMR dan Pendapatan bruto
penduduknya yang masih dibawah kota besar lain membuat tiket tersebut
terlihat mahal.
Di Malang dengan modal 25 ribu rupiah bisa mendapatkan porsi makan 3
kali dengan lauk mewah(menggunakan daging ayam/sapi). Di Jakarta, Bekasi
atau Tangerang dengan menggunakan lauk yang sama hanya bisa didapatkan
untuk 2 kali makan dan sedikit kembalian untuk minuman dan kerupuk.
Saya jadi teringat ketika pertama kali menonton
pertandingan Arema/Persema di Stadion Gajayana belasan tahun lalu. Di
tahun 1992 ketika Arema memakai Stadion Gajayana untuk mengikuti
Galatama harga tiket Arema sebesar 2000 rupiah untuk ekonomi dan 3500
rupiah untuk VIP. Dengan jumlah penonton sekitar 7000-9000 penonton tiap
pertandingan seringkali Panpel Arema menangguk pendapatan lebih dari 15
juta rupiah ketika itu.
Jumlah tersebut di waktu itu sangat besar. Kira-kira bisa untuk menggaji
selama sebulan pemain yang masuk dalam starting line up tim.
Dibandingkan sekarang jumlah tersebut terpaut amat jauh bahkan kurang
dari cukup untuk hanya mengontrak pemain muda yang berstatus debutan.
Saudara tuanya Persema ketika itu pernah menjual tiket ekonomi seharga
1500 rupiah saja. Sebagai perbandingan seporsi nasi goreng di tahun 1992
harganya sekitar 800-850 rupiah saja. Jika dikurskan sekarang
barangkali nilai tiket Arema bisa seharga 15 ribu - 20ribu rupiah. Namun
harap diingat bahwa ketika itu belum terdapat pembatasan minimal nilai
kontrak/gaji pemain sebesar 1 juta rupiah perbulan atau kebutuhan untuk
mengontrak pemain asing dan pemain timnas yang berharga lebih mahal.
Selepas Arema menjuarai Galatama di tahun 1993 harga tiket sempat
melonjak menjadi 2500 rupiah untuk ekonomi dan sekitar 4000 rupiah untuk
VIP. Harga ini tidak bertahan lama karena ketika kompetisi perserikatan
dan galatama digabung, harga tiket Arema melonjak menjadi 3500 rupiah
untuk ekonomi dan 7500 rupiah untuk VIP.
Panpel Persema bahkan sempat melego harga tiket dengan harga 2500 rupiah
untuk kelas ekonomi dan 4000-5000 rupiah untuk VIP. Panpel Persema
turut merasakan manisnya penjualan tiket ketika Persema menjamu PSIM
Yogyakarta dalam pertandingan yang disaksikan lebih dari 18 ribu
penonton. Sekitar seribuan diantaranya meluber di pinggir sentelban
untuk hasil pertandingan yang berakhir dengan skor kacamata.
Sementara itu Arema sempat menangguk untung besar ketika menjamu Mitra
Surabaya di akhir laga kandangnya. Dengan banderol tiket sebesar 3500
rupiah untuk ekonomi, dan 7500 rupiah untuk VIP ludes di tangan
penontonnya. Sekitar 20 ribu penonton sudah memenuhi stadion sejak pukul
2 siang. Bahkan ketika pintu masuk stadion dibuka sekitar pkl 12.30 WIB
sudah terdapat ribuan orang yang antre masuk stadion. Antrean dengan
panjang puluhan meter mengular dan masih berlangsung hingga beberapa jam
kemudian.
Laga melawan Mitra Surabaya itu berakhir dengan skor 2-1. Sejak pukul 2
siang tribun VIP ditutup karena tidak mampu menampung penonton yang
berjubel. Ratusan penonton yang tidak masuk ke stadion terpaksa
dialihkan dengan memasuki tribun ekonomi yang juga mulai penuh.
Penghasilan kotor panpel Arema diperkirakan mencapai 50 juta rupiah dari
sekitar 17 ribu lembar tiket yang dijual.
Di musim berikutnya Panpel Arema sempat menaikkan harga tiket untuk
pertandingan bigmatch. Laga bigmatch melawan tim-tim besar untuk ekonomi
dibanderol sebesar 5000 rupiah, termasuk lawan Persema. Meski laga
derby melawan Persema hanya dihadiri sekitar 9000 penonton, Arema baru
merasakan manisnya hasil penjualan tiket ketika menjamu Persebaya.
Lebih dari 18000 penonton menyaksikan laga yang digelar selepas libur
hari raya Idul Fitri tersebut. Pertandingan berakhir dengan skor 3-0.
Ketika itu seluruh skuad Arema dipenuhi pemain lokal, sementara lawannya
diperkuat 3 pemain asal Yugoslavia diantaranya Antonic Dejan (musim
berikutnya memperkuat Persema dan mencetak beberapa gol), Plamen Iliev
Kazakov dan Nadoveza Branko.
Di beberapa musim berikutnya tidak banyak perubahan terhadap penjualan
tiket laga Arema. Arema sempat menaikkan tiket ekonomi sebesar 6000
rupiah di tahun 1998 dan 7500 rupiah ketika Liga Indonesia 1999.
Di setiap musim pastinya terdapat laga yang dipenuhi penonton mengingat
rivalitas maupun gengsi tinggi pertandingannya. Jika di Liga Indonesia
1996/1997 terdapat sekitar 20 ribu penonton yang menyaksikan jalannya
laga Arema melawan Persebaya dengan skor 1-1 maka di tahun 1999 laga
Arema melawan Pelita Jaya mencatat jumlah pendapatan tertinggi.
Kabarnya laga itu mampu menembus rekor jumlah penonton sebanyak 25 ribu
orang mengingat saking banyaknya orang yang berdiri di sentelban.
Pertandingan yang berakhir dengan skor 0-0 tersebut menurut informasi
yang beredar hasil penjualan tiket menembus angka 125 juta rupiah. Angka
tersebut adalah angka diatas 100 juta rupiah yang pertama kali
disandang oleh tim Arema. Dalam kurun waktu sekitar 11 tahun kemudian
hasil penjualan tiket Arema mampu menembus hingga 8 kali lipatnya !
Semua hasil yang didapat Arema bukanlah tanpa usaha. Semuanya juga tidak
tercipta atas keajaiban semata. Butuh dorongan berbagai pihak terutama
Aremania selaku suporter. Hadirnya Aremania turut membantu pendapatan
dari hasil jualan tiket pada pertandingan Arema. Satu point yang juga
patut diperhitungkan adalah prestasi tim. Prestasi tim yang stabil turut
membantu 'stabilitas' pada animo penonton untuk datang ke stadion.
Selain pertandingan Arema dan Persema saya seringkali menyaksikan
jalannya kompetisi internal Persema di pertengahan tahun 90an hingga
tahun 2002. Sama seperti pertandingan sepakbola profesional, kompetisi
internal Persema atau yang lazim disebut sebagai Liga Persema Junior
juga seringkali ditiketkan.
Dibandingkan dengan bentuk tiket pertandingan Arema yang mulai
berwarna-warni karena sudah memakai teknologi print digital di awal
tahun 2000an, maka tiket pertandingan kompetisi internal Persema lebih
mirip dengan karcis bis. Warna tiketnya 'stagnan' bisa berwarna kuning
atau biru dengan tulisan yang dicetak dengan printer berwarna hitam.
Terkadang bentuk tiket terlihat seperti hasil fotokopian yang
dicetak/dipotong sedemikian rupa, dan penomoran atau pencantuman tim
yang bertanding pada tiket menggunakan tulisan tangan yang terbuat dari
spidol.
Harga tiket untuk kompetisi internal Persema dibanderol seharga 600
rupiah sekitar tahun 1996, dan 2000 rupiah di tahun 2002. Dulunya
kompetisi internal Persema ini dimainkan di Stadion Gajayana Malang.
Sejak tahun 2003 seluruh laga penyisihan yang berjumlah ratusan ini
ditempatkan di beberapa stadion kecil yang tersebar di penjuru kota
Malang.
Dan kini 'perubahan' terhadap venue kompetisi internal Persema masih
tetap dipertahankan. Agaknya ini bisa dimaklumi untuk menjaga kualitas
rumput stadion sebelum dipakai tim seniornya, sekaligus agar memberikan
peluang kepada UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) sebagai pengelola
Stadion bisa memaksimalkan pendapatan dari sewa stadion sesuai dengan
amanat Perda setempat.
bersambung...
(post-original:http://wearemania.net/aremania-voice/nostalgia-sepakbola-malang-di-tahun-90an-3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar