Senin, 23 Desember 2013

EDITORIAL - Kebocoran Tiket, Siapa Yang Rugi (1)



Animo penonton pertandingan sepakbola di Indonesia cukup besar. Selama tiga tahun terakhir, jumlah penonton sepakbola Indonesia menempati peringkat pertama di kawasan regional dan lima besar Se Asia.
Jumlah penonton yang melimpah tersebut membuat 'industri' sepakbola Indonesia terlihat lebih meriah jika dibandingkan dengan beberapa kompetisi di kawasan ASEAN. Meski demikian, jumlah penonton yang masif tidak serta merta mampu mengangkat perekonomian klub.

Penyebabnya masih banyak klub yang belum mampu menggali dana secara maksimal dengan memanfaatkan potensi suporternya. Penyebabnya selain mental industri yang belum terbentuk sempurna, juga dukungan dari berbagai pihak (operator liga, manajemen klub, suporter/masyarakat, dan lainnya) yang masih belum maksimal. Alhasil klub seringkali arus berjuang seorang diri menghadapi tantangan yang datang.
Saat ini pelarangan penggunaan dana APBD kepada klub sepakbola profesional masih berlaku. Keadaan ini membuat manajemen klub harus memutar otak untuk menggali uang agar klub tetap survive mengarungi kompetisi. Salah satunya adalah dengan menggenjot pemasukan dari sektor bisnis berupa tiket pertandingan, sponsor, hak siar dan merchandise.

Melimpahnya jumlah penonton diharapkan mampu membantu menanggung sebagian pengeluaran klub selama mengikuti kompetisi. Kondisi ini dimanfaatkan oleh beberapa klub yang memiliki basis suporter besar. Sebut saja Arema, Persib, Persebaya, dan yang lainnya.

Dengan kapasitas stadion yang besar (lebih dari 25.000 orang) memungkinkan para klub tersebut untuk menggenjot pendapatannya dari sektor tiket. Sebutlah Arema yang didukung oleh Aremania mampu menghadirkan lebih dari 30ribu suporter untuk memenuhi stadionnya. Demikian pula dengan Persebaya yang beberapa kali menarik minat lebih dari 50ribu Bonek di Gelora Bung Tomo (kandang Persebaya).
Jika klub lain rata-rata hanya mendapatkan pemasukan kotor sebesar 150-250juta rupiah saja setiap pertandingan, bagi para klub dengan basis suporter kuat diatas mampu meraup pemasukan hingga 1 miliar rupiah ketika stadion dalam kondisi penuh. Jika kondisi demikian dapat dicapai secara konsisten setiap pertandingan, tentu membawa dampak positif bagi klub.

Misalnya Gelora Bung Karno (GBK) yang dipakai oleh Persija. Stadion ini berkapasitas 88ribu penonton. Namun sangat jarang tiket yang terjual mengalami sold out sebesar kapasitas GBK tersebut. Paling tidak jika panpel Persija mampu menjual tiket separuhnya saja dari kapasitas GBK, tentu sudah menjadi salah satu klub dengan penghasilan terbesar dari penjualan tiket pertandingan.

Setidaknya dengan 40ribu tiket yang terjual, Panpel Persija dapat mengeruk pemasukan minimal 1,2 miliar rupiah di setiap pertandingan (asumsi harga tiket terendah sebesar 30ribu rupiah). Jika hal ini dapat dicapai secara konstan oleh panpel, dalam satu musim kompetisi (ISL = 17 laga home) panpel Persija dapat meraup pendapatan hingga 20,4 miliar rupiah.

Dengan 20 miliaran rupiah sebenarnya sudah cukup untuk membiayai seluruh gaji pemain dan pelatih selama semusim. Sisa pembiayaan lainnya dapat ditutup dari bantuan sponsor/investor, hak komersial dari operator kompetisi maupun pendapatan bisnis lain (merchandise). Hal ini bisa dicapai jika ada kerjasama antara panpel, petugas tiket hingga suporter.

Memang tidak salah jika klub sangat menggantungkan pemasukan dari penjualan tiket pertandingan. Selepas larangan pemakaian hibah dana APBD sejak tahun lalu, sebagian besar klub masih menggantungkan pendapatan dari sponsor dan sektor tiket.
Selain Persija, beberapa klub sebenarnya mampu meraup pemasukan kotor lebih dari 1 miliar rupiah di tiap pertandingan. Sebut saja Arema (Stadion Kanjuruhan dan Gajayana), Persipura (Stadion Mandala) maupun Persebaya (Gelora Bung Tomo). Maka tidak heran hasil dari penjualan tiket adalah salah satu urat nadi dalam menjaga kehidupan klub.

Rugi:
Dibalik peluang besar para klub mendapatkan diatas masih terdapat sisi ironi lain yang menimpa sebagian besar klub sepakbola di Indonesia.
Meski memiliki basis suporter yang kuat namun tidak setiap pertandingan kandang menuai pendapatan besar dari sektor tiket. Hal ini terjadi karena jumlah penonton di setiap pertandingan tidaklah stabil serta terjadi kebocoran dalam penjualan tiket pertandingan.
Masalah ini dialami oleh banyak klub baik ISL maupun IPL. Deltras salah satunya. Klub yang bermarkas di Gelora Delta Sidoarjo ini musim lalu kerap merugi akibat kebocoran penjualan tiket tak sebanyak jumlah penonton yang memasuki stadion.
Dilansir dari Viva, menurut manajer Menurut Manajer Deltras, Yudha Pratama, kebocoran mencapai 20-30 persen. Deltras menjual tiket kategori ekonomi sebesar Rp15 ribu, VIP seharga Rp30 ribu dan VVIP dengan harga Rp50 ribu."Kalau total penonton seperti tercantum di website Liga 15.000, namun yang membayar sebanyak 9.000 suporter," jelasnya.

Secara kasar dengan kebocoran tiket mencapai 25% saja sudah menyumbang kerugian sekitar 30juta rupiah di setiap pertandingan. Jika selama semusim kompetisi Deltras menjalani 17 pertandingan kandang maka kerugian potensial yang diraih oleh klub berjuluk The Lobster ini mencapai 510juta rupiah.
Disinyalir potensi kerugian yang dialami Deltras juga terjadi di klub-klub lain. Jika Deltras saja mengalami kerugian hingga setengah miliar rupiah selama semusim akibat kebocoran tiket, kerugian yang lebih besar dapat dialami oleh para klub yang memiliki animo penonton sangat besar.
Mantan juara Liga Indonesia 1999, PSIS Semarang juga mengalami kondisi serupa pada tahun 2010 lalu. Wakil Ketua panitia pelaksana (panpel), Wahyoe "Liluk" Winarto kala itu mengatakan, tiap kali PSIS main di kandang sendiri tingkat kebocorannya cukup tinggi.
Kala itu, tiap kali Suwita Patha dan kawan-kawan main tak kurang 12.500 penonton memadati Stadion Jatidiri Semarang. "Kalau tiket hanya terjual 10 ribu lembar, maka kebocorannya mencapai 25%," katanya. Ia menjelaskan, tiap kali PSIS main, panpel mencetak 17 ribu lembar tiket dan mampu menjual 10 ribu lembar. "Kalau diambil rata-rata harganya Rp 15 ribu per lembar, panpel mendapat pemasukan Rp 150 juta," katanya

Dengan prosentase rugi yang sama (25%), klub lain dengan pendapatan tiket rata-rata hingga 500juta rupiah dapat menanggung kerugian hingga 125juta rupiah setiap pertandingan. Jika dikalkulasikan selama semusim (17 pertandingan) maka total kerugian yang harus ditanggung klub mencapai 2,1miliar rupiah. Jumlah yang cukup besar, setidaknya cukup untuk membayar pengeluaran gaji pemain dan pelatih selama 2-3 bulan.
Maka tak heran jika panpel pertandingan sangat mengharapkan kebocoran tiket bisa diminimalisir. Terlebih bagi klub-klub yang penghasilan terbesarnya bersumber dari tiket pertandingan.
Ada beberapa hal lain pula yang harus diwaspadai oleh panpel dari ancaman kebocoran tiket. Banyaknya penonton yang masuk ke stadion tak bertiket memberikan ancaman serius bagi panpel terkait faktor keamanan dan kenyamanan.

Kondisi ini pernah dialami oleh beberapa klub di Indonesia, salah satunya Arema. Jumlah penonton yang datang melebihi jumlah tiket yang dijual dan kapasitas stadion, menyebabkan sebagian penonton terpaksa turun ke sentelban melewati pagar pembatas dan parit sedalam beberapa meter.
Dalam Manual Liga, adanya penonton yang memasuki area sentelban adalah bentuk pelanggaran dan klub dapat dikenai sanksi. Klub sebesar Arema pun tak luput dari sanksi tersebut yaitu pada ISL 2009/2010 selepas pertandingan kandang melawan Persema maupun ketika menjamu Persija pada 13 Juli 2005.
Kejadian yang terakhir lebih fatal akibatnya bagi panpel, karena tidak hanya penonton yang membeludak namun terjadi kekacauan ketika pagar pembatas tribun roboh dan menyebabkan puluhan penonton terperosok kedalam parit. Satu orang penonton tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Selain harus menanggung hukuman yang diberikan oleh Pengelola Kompetisi, Arema harus menanggung segala pengeluaran berikut pengobatan yang diakibatkan kejadian tersebut.

Sumber:
Meski tidak ada statistik besarnya kebocoran tiket yang dialami para klub, masalah ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Potensi terjadinya kebocoran juga semakin beragam dan tak pandang bulu. Seakan setiap peluang berusaha untuk diembat demi keuntungan pribadi.
Bertahun-tahun menonton pertandingan sepakbola dan mengikuti perkembangannya di berbagai media sedikitnya saya dapat merangkum beberapa hal menyangkut terjadinya kebocoran tiket yang banyak dialami para panpel.
Lazimnya yang terjadi di Indonesia, pada umumnya kebocoran tiket dapat disebut sebagai adanya selisih jumlah penonton yang memasuki stadion dengan jumlah tiket yang terjual beserta free pass ticket, dimana jumlah penonton yang datang lebih besar angkanya dibandingkan jumlah tiket yang berhasil dijual oleh panpel beserta tiket free pass untuk undangan.
Di Indonesia cara menghitungnya dapat dilakukan secara sederhana yaitu dengan membandingkan jumlah penonton yang masuk ke stadion (umumnya dihitung oleh petugas checker di pintu masuk stadion atau berdasar jumlah penonton yang dilaporkan ke Operator Liga) dengan jumlah tiket yang terjual serta tiket yang diperuntukkan untuk undangan (free pass). Adanya selisih jumlah penonton tersebut dihitung sebagai kerugian yang ditanggung oleh panpel.

Selisih jumlah penonton tersebut lazim disebut sebagai penonton tak bertiket. Ada berbagai macam cara mereka bisa memasuki stadion secara gratis. Mengapa bisa terjadi demikian? Sedikitnya terdapat beberapa faktor yang andil dalam menyebabkan kebocoran tiket, diantaranya:



A. UNSUR PANPEL
Peran dan kontribusi panpel tentu menjadi unsur dominan dalam meminimalisir kebocoran tiket. Namun ada kalanya kebocoran tiket terjadi dan pihak panpel andil dalam terjadinya kasus ini, beberapa kasus diantaranya terjadi seperti berikut ini, berdasarkan masukan dari berbagai penonton dari beberapa stadion di Indonesia :
  1. Kelengahan petugas portir dalam memeriksa dan mengawasi tiket dan penonton yang masuk ke stadion.
  2. Ketidaktegasan portir dan petugas keamanan dalam 'mengusir' penonton tak bertiket agar tidak memasuki stadion.
  3. Tidak menyobek tiket yang diberikan oleh penonton di pintu masuk stadion (tiket diputar).
  4. Terkadang tiket dijual/diberikan secara gratis kepada penonton atau penjual tiket lagi, dengan tujuan memperbanyak calon penonton yang datang ke stadion demi tujuan mendukung klub tersebut (kadang terjadi pada pertandingan/klub yang sepi/kurang diminati penonton).

B. UNSUR PENONTON
  1. Masih terdapat paham 'bondo nekad', bukan dalam artian merujuk pada komunitas suporter sepakbola tertentu, namun perilaku penonton yang memanfaatkan segala cara untuk masuk ke stadion meski tanpa memiliki tiket. Seringkali disertai dengan tindakan 'ilegal', seperti menerobos antrian di pintu masuk, memanjat dinding/pagar stadion, dan lain sebagainya.
  2. Memaksakan diri masuk ke stadion dengan bermodalkan 'Say Hello', atau menunjukkan 'KTA' yang tidak termasuk dalam list free pass (tiket undangan) yang diberikan oleh panpel kepada petugas portir agar diizinkan masuk meski tanpa tiket.
  3. Memaksakan diri masuk dengan memberikan uang kepada petugas sebagai ganti tiket. Alasannya bermacam-macam mulai dari kehabisan tiket, atau sekedar lebih ekonomis (tak perlu membeli tiket di calo atau membeli seharga tiket).
  4. Budaya 'nunut' atau ngekor kepada penonton yang memegang tiket (mengaku sebagai kerabat atau kenalan, dan sering juga dilakukan penonton dibawah umur).
 

C. SISTEM
  1. Aturan 'satu tiket untuk satu orang' tidak diterapkan sebagian besar klub di Indonesia. Beberapa kejadian ini lazim dialami oleh panpel yang tidak menjual tiket untuk kategori anak-anak (dibawah umur 10 tahun) atau para pedagang yang masuk ke stadion dengan modal tiket untuk dirinya sendiri, namun ketika di tribun mengambil space tempat duduk lebih banyak dari jatah tiket seharusnya (umumnya terjadi pada tribun penonton yang tidak menerapkan tempat duduk bernomor/tunggal)
  2. Pengaturan pintu masuk stadion tidak dilakukan secara 'berliku', untuk memudahkan panpel/petugas loket dalam menyeleksi para penonton yang membawa tiket maupun tidak.
  3. Desain tiket tidak dilengkapi dengan fitur keamanan yang mumpuni. Banyak sekali kasus dimana tiket didesain secara sederhana dan memberikan peluang terciptanya tiket palsu.
  4. Tidak ada nomor seri di tiket sehingga memungkinkan terciptanya kebocoran tiket dalam bentuk penggandaan dan distribusi tiket secara ilegal (tidak terdata dalam administrasi panpel klub maupun instansi pemerintahan daerah yang mengatur masalah pajak pendapatan). Dalam kasus lain saya pernah menyaksikan panpel sebuah stadion di bagian barat Pulau Jawa tidak menyobek tiket yang tidak memiliki nomor seri dan mengedarkan (dijual) kembali melalui makelar tiket.
  5. Matchday concept (konsep penyelenggaraan yang tidak hanya berisi pertunjukan pertandingan sepakbola, namun terintegrasi dengan acara hiburan lain yang melibatkan suporter dan terletak di ring 1/2 stadion) hanya berkutat pada pertandingan sepakbola semata sehingga banyak calon penonton yang datang ke stadion mendekati waktu kick off. Efeknya di waktu mendekati kick off tersebut seringkali penonton berjubel antri dan berebutan masuk ke stadion. Potensi kebocoran tiket berpeluang terjadi disini.

D. INFASTRUKTUR
  1. Akses memasuki ke stadion tidak dilakukan secara terstruktur. Misalnya membagi beberapa ring area di kawasan stadion, dimana hanya calon penonton yang memiliki tiket yang diperbolehkan mengakses ring terdalam/terdekat dengan stadion.
  2. Kondisi tribun stadion-stadion di Indonesia sebagian besar tidak menerapkan kursi tunggal bernomor, sehingga terjadi kerancuan dalam penghitungan besaran kapasitas stadion yang menentukan jumlah tiket yang harus dijual oleh panpel.
  3. Terdapat celah bagi penonton untuk memasuki stadion secara gratis yang diakibatkan oleh buruknya kondisi infrastruktur (rendahnya dinding stadion, pintu masuk kurang kokoh, dsb).
  4. Jumlah pintu masuk stadion terbatas. Banyaknya penonton yang berjubel dalam kurun waktu tertentu menyebabkan antrian di pintu masuk semakin panjang dan kadang semrawut. Kebocoran tiket dapat terjadi ketika antrian penonton tak tertib dan berebut untuk masuk ke stadion dengan jalan menerobos antrian.